Alang-alang dan gelagah begitu hijau,
Embun putih berubah menjadi embun beku.
Dia yang aku pikirkan,
Sedang berada di antara air.
Aku pergi ke hulu mencari dia,
Tapi jalannya panjang dan sulit.
Aku pergi ke hilir mencari dia,
Dan lihatlah! Dia ada di tengah-tengah air.
Lan WangJi menurunkan kembali kuasnya seusai menyelesaikan kalimat terakhirnya dari syair berjudul Jian Jia dari kumpulan syair Guo Feng. Saat itu adalah hari tenang lainnya ketika kelas ditiadakan karena pamannya sedang sibuk mengurusi masalah Waterborn Abyss yang beberapa waktu lalu sempat menyebabkan kekacauan di kota Caiyi. Karena tidak ada kelas, Lan WangJi memutuskan untuk pergi ke paviliun perpustakaan untuk menghabiskan harinya dengan berlatih kaligrafi seperti biasanya. Tetapi tentu saja, itu hanya karena dia terbiasa melakukannya saja. Bukan berarti itu keinginannya. Pada akhirnya, perpustakaan hanyalah sebuah tempat dan kaligrafi hanyalah sebuah seni. Pikirannya? Siapa yang tahu ada di mana? Mengapa juga syair seperti ini yang menjadi pilihannya untuk disalin? Seolah dia sedang patah hati oleh seseorang dan berakhir mencurahkan isi hatinya ke dalam selembar kertas lilin.
Lan WangJi menengadahkan kepalanya menatap keluar jendela dan sosok seseorang itu yang sedari tadi menginvasi seluruh pikirannya hingga hampir membuatnya gila muncul di titik fokusnya; dengan baju berwarna ungu ciri khas sekte YunmengJiang dan rambut yang dikucir satu seperti biasanya, dan tentu saja, dengan pasukan kecil berjumlah tujuh hingga delapan orang yang berkerumun mengelilinginya seolah dia adalah pemimpin dari grup itu.
Lan WangJi tidak melepaskan pandangannya barang sejenak pun dari remaja itu bahkan ketika sosok itu menghilang dari hadapannya. Dia sedikit banyak tahu ke mana mereka akan pergi. Ke mana lagi kalau bukan ke balik gunung untuk menangkap beberapa ekor burung pegar? Yang jadi pertanyaannya di sini, mengapa juga dia jadi tahu semua tentang remaja itu? Kalau itu orang lain, jangankan apa yang akan dilakukannya, dia bahkan tidak akan peduli apakah orang itu ada atau tidak. Tetapi Wei WuXian bukan lagi sekadar orang lain dalam hidupnya. Mungkin sejak awal, remaja itu memang tidak pernah menjadi orang lain baginya. Lan WangJi saja yang enggan mengakuinya.
Menghela napas, Lan WangJi kembali memfokuskan perhatiannya pada kertas lilin di hadapannya. Alangkah baiknya bila sesekali dia mengubah suasana dan ikut pergi ke balik gunung untuk memburu burung pegar, akan tetapi tentu saja itu tidak mungkin terjadi di kehidupannya yang ini. Wajahnya terlalu tipis untuk mengakui bahwa dia ingin ikut. Jadi Lan WangJi hanya bisa tetap diam dan mengawasi semuanya sambil berpura-pura tidak peduli. Dirinya kembali tenggelam dalam sastra kuno Cina yang sedang disalinnya, hingga akhirnya petang datang dan orang itu kembali muncul.
Wei WuXian memanjat pohon magnolia yang berada di dekat paviliun perpustakaan dan masuk melalui jendela terbuka yang mengarahkannya kepada Lan WangJi. Wajahnya berseri-seri ketika dia berkata, "Lan Zhan, aku kembali! Kau merindukanku? Huh? Tanpa aku yang menyalin surat selama beberapa hari ini?"
Lan WangJi tidak menjawab dan hanya memperhatikannya dalam diam. Orang ini datang lagi, mengganggunya… mungkin setelah ini Lan WangJi tidak akan bisa tidur selama beberapa hari, atau sebaliknya, dia akan tertidur cukup pulas, memimpikan Wei WuXian yang tertindih di bawahnya, dan terlalu enggan untuk bangun. Yang manapun itu, Wei WuXian jelas tidak mengetahui apa yang dipikirkannya, atau mungkin dia tahu? Karena setelah kebisuannya yang disengaja, Wei WuXian tanpa tahu malu melanjutkan, "aku tahu, meskipun kau tidak mengatakannya, kau pasti merindukanku. Kalau tidak, tadi, mengapa kau terus melihatku dari jendela?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Segalanya Baginya
FanfictionFanfiksi ini ditulis sedemikian rupa untuk menggambarkan Wei WuXian dari sudut pandang seorang Lan WangJi berdasarkan novelnya; menceritakan tentang hari-hari ketika mereka bersama. Saya hanya terlalu mencintai Wei WuXian dan hubungan di antara kedu...