Chapter 1

1.3K 191 22
                                    

Alex membuka mata lalu menghirup napas dalam-dalam. Udara berpendingin masuk ke dalam paru-parunya memberikan sensasi dingin yang menusuk. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mengumpulkan kesadaran.

Mimpi apa itu?

Pemuda berambut pirang itu mengerutkan alis sambil memandangi tangannya. Dia masih bisa merasakan tekstur kasar ranting yang dipegang di dalam mimpi. Jantungnya pun masih berdebar kencang, seakan-akan dialah yang berlari menembus hutan. Mata birunya berkedip beberapa kali, berusaha untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Mimpi itu terlalu nyata untuk sekadar bunga tidur, bayangan dari kenyataan dan memori. Alex tidak merasa pernah berlarian seintens itu di hutan.

Atau bisa saja mimpi itu menggambarkan keadaannya sekarang yang memang sedang melarikan diri dari keluarganya?

"Hei sleepyhead!" seru seorang perempuan berusia akhir dua puluhan seraya melemparkan celemeknya ke arah Alex, membuyarkan lamunan. Pemuda itu menangkapnya dengan satu tangan. Alex bersyukur dia memiliki reflek yang bagus atau celemek berminyak itu sudah mendarat di wajahnya.

"Untung saja shift-mu sudah selesai jadi kubiarkan kamu tidur," lanjutnya seraya tertawa. Dia menangkap kembali celemek yang dilempar oleh Alex. Manajer muda itu berjalan menuju lokernya.

"Oh shut it, Sandra!" balas Alex berdiri dari kursi besi yang menopang tubuhnya sambil tertawa. Wajahnya masih memiliki cap merah dari lengan yang dia pakai untuk tidur.

"Pulang dan istirahatlah." sergah Sandra seraya memasukkan celemek ke dalam loker dan mengambil pakaian ganti dari dalam. Alex berjalan menuju lokernya dan melakukan hal yang sama.

"Yeah," balas Alex setengah hati. Mimpi yang baru saja dia dapatkan kembali menyita pikirannya.

"Melamun lagi!" Sandra sengaja menutup pintu loker lebih keras untuk menyadarkan Alex.

"Hei! Suaramu bisa terdengar sampai ke depan!" gerutu Alex. Umurnya memang lebih muda beberapa tahun dengan Sandra, tapi sikap manajernya yang santai membuat Alex merasa mereka lebih seperti teman sepantaran.

Sandra kembali tertawa. Rambut ikal cokelatnya yang sebahu berguncang-guncang. "Salahmu sendiri. Well, jika kamu ada masalah, aku bersedia meminjamkan bahuku untuk kau menangis."

Alex mendengkus. "Mana kerennya cowok menangis di pundak cewek?"

Sandra mengangkat bahu sambil berjalan menuju kamar ganti. "Emansipasi."

"Yeah-yeah," balas Alex menahan geli.

"Tapi aku serius. Jika kau butuh teman bicara, hubungi aku. Tidak mudah remaja sepertimu hidup sendirian di kota besar." Sandra menyunggingkan senyum tulus sebelum menutup pintu.

Alex membalasnya dengan senyum yang sama. "Aku tahu."

Pemuda itu segera melepas kemeja berwarna kuning oranye dan memakai kaos berwarna biru tua bergambar grafik eksperimental manusia berkepala gorila dengan percikan cat fluoresen. Dia melempar begitu saja kemejanya ke dalam loker dan mengambil botol minum, helm sepeda, dan kunci sebelum menutup pintu besi itu. Alex segera meluncur keluar dari tempat itu, setengahnya karena menghindari Sandra. Manajernya itu memang baik. Dia yang membantu Alex yang baru hidup di Los Angeles selama tiga bulan, mulai dari menunjukkan tempat makan murah sampai memberi tahu bagaimana cara menggaet cewek metropolitan. Namun menceritakan mimpi ganjilnya pada wanita itu bukan pilihan yang bijaksana. Terutama karena Alex merasa mimpinya bukan mimpi biasa. Perasaannya berkata bahwa ini adalah awal dari hal yang merepotkan.

Sambil memakai helm, Alex menghela napas. Dia melepaskan sepeda kotanya dari besi penahan dan mulai mengayuh melintasi Burbank tempatnya bekerja menuju apartemennya di Wilshire Center di selatan. Cukup jauh, tapi hanya di Wilshire dia dapat menemukan apartemen murah. Memanfaatkan itu, Alex memilih sepeda sebagai transportasi agar dirinya tetap sehat.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang