Chapter 30

213 48 1
                                    

Alex terdiam lama sekali, terduduk di kursi makan dengan lengan menopang lemah di meja. Kepalanya tertunduk tanpa daya sementara pikirannya kosong. Terlalu banyak yang terlintas di sana. Terlalu berisik hingga tanpa sadar Alex membungkam semua suara yang menyusun seribu satu rencana baik untuk dunianya maupun untuk dunia Haken.

Napasnya sesak.

Bagaimana mungkin beban seberat itu dia tanggung sendiri?

Penerbangan yang seharusnya dia naiki telah lepas landas. Pesawat yang membawanya lari dari segalanya telah pergi, meninggalkan Alex yang harus bergumul dengan semua konsekuensi yang ada.

Penat.

Rasanya pemuda itu ingin membuka jendela dan berteriak hingga suaranya putus dan paru-parunya meledak. Mungkin saja, dengan demikian, dia mendapat sedikit kelegaan. Namun sedikit akal sehat dari Alex menahan, memberi tahu bahwa hal itu sama sekali tidak akan membantunya. Sayang sekali, akal sehat itu tidak memberi jawaban yang dia butuhkan untuk lepas dari masalah ini.

Terdengar suara kayu berderit. Alex membuka mata. Itu suara sofa tamunya yang memprotes berat badan Haken. Tak lama kemudian terdengar suara langkah.

"Dewa?" Suara Haken menyapa Alex, membuat pemuda itu mengambil napas dalam untuk mengendalikan diri sebelum mengangkat kepala memandang ke arah kepala suku muda itu.

Haken berdiri di hadapannya sambil menggandeng Isla yang mengintip di balik tubuh pemuda itu.

Alex mendengkus pelan. "Dewamu sudah pergi." Dia bangkit dan berjalan mendekati Haken. "Apa yang akan kau lakukan? Aku melihat semua yang terjadi. Adikmu, Kohen, mempertaruhkan nyawanya menghadang Kenan agar dirimu dan perempuan ini," Alex melirik ke arah Isla, "dapat ke sini."

Haken secara instingtif, berdiri menghalangi tatapan Alex yang tajam ke arah Isla.

Menyadari Haken tidak berkata apa-apa, Alex melanjutkan perkatannya. "Apa kau tahu yang akan terjadi? Kohen dianggap sebagai pengkhianat dan akan dihukum. Kenan akan menjadi ketua suku menggantikanmu dan akan menyerang suku Shui." Lagi-lagi Alex melirik ke arah Isla. "Korban akan berjatuhan dari kedua belah pihak. Perang besar ratusan tahun lalu akan kembali terjadi."

"Cukup!" seru Haken tercekat. Dia menatap Alex dengan wajah berkerut menahan emosi. "Aku tahu itu!"

"Tapi kau tidak melakukan apa pun!" sahut Alex, berteriak di depan wajah Haken. "KAU TAHU HAL ITU TAPI KAU MEMILIH PEREMPUAN INI DAN MELARIKAN DIRI DARI TANGGUNG JAWABMU!!"

Napas Alex naik turun. Emosinya meledak begitu saja. Kemarahan, kekecewaan, rasa frustrasi yang selama ini berkumpul akhirnya keluar. Tekanan karena perginya Illa membuat Alex kehilangan kendali. Dia menatap wajah Haken yang membalas pandangannya tajam.

Alex akhirnya paham apa yang membuatnya marah terhadap Haken. Semuanya tak lebih dari rasa muaknya pada diri sendiri yang juga meninggalkan Sienna demi keegoisannya. Menyadari itu, napas Alex menjadi pendek dan memburu. Kini seluruh emosi, kemarahan serta keputusasaan menemukan sasaran tembak lain. Dirinya sendiri.

"AAAARGH!!!" seru Alex seraya menghantam tembok.

Haken terlonjak mundur. Dia semakin menyembunyikan Isla di balik tubuhnya, sambil menatap pemuda di hadapannya waspada. Alex sendiri tidak peduli dan menghantam tembok beberapa kali dengan kepalan tangan kanannya. Dinding bergetar dan merontokkan semen serta pasir. Di luar terdengar suara-suara yang meminta Alex berhenti.

Pukulan kelima dan pemuda itu mendapatkan ketenangannya. Buku-buku tangannya mengeluarkan darah sementara di tembok terlihat bekas pukulan yang membuat cat terkelupas, menunjukkan batu bata berlapis semen di baliknya.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang