Chapter 2

978 155 44
                                    

Alex melompat mundur sebagai respon. Menjaga jarak dari bahaya adalah hal pertama yang diajarkan kepadanya untuk bertahan hidup. Bayangan itu mendarat di hadapan Alex, bersama dengan suara mengeong pelan. Seekor kucing berwarna karamel menatap pemuda itu dengan tatapan memohon.

Sial.

Alex merasa bodoh karena terlalu tegang. Dia menghela napas sebelum mendekati kucing itu dan membelai kepalanya. Matanya awas memandang sekeliling tapi suasana malam di lapangan terbuka itu tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda ada keberadaan manusia selain dirinya dan seorang penjaga di depan observatori. Alex menunggu beberapa saat sambil membiarkan sang kucing mengelilingi kakinya dengan manja. Tidak ada yang terjadi. Kelegaan langsung membanjir deras dalam benak pemuda itu. Dia melihat jam tangannya, tengah malam sudah lewat. Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada sang kucing, Alex berlari menuruni bukit dan segera mengayuh sepedanya menembus kota Los Angeles.

Dalam waktu setengah jam, dia sudah tiba di depan sebuah apartemen bertingkat empat dengan cat berwana kelabu dan jendela-jendela minimalis memenuhi tembok. Bangunan itu membaur dengan sekelilingnya, sederhana tapi nyaman. Alex beruntung dia masih memiliki dana untuk tinggal di tempat yang layak, bukan di kawasan berbahaya yang terletak lebih ke selatan. Dia segera memakirkan sepedanya sebelum berlari naik hingga ke lantai empat sambil mengeluarkan kunci, menyapa seorang wanita setengah baya yang tinggal di lantai dua dan mengabaikan panggilan seorang remaja perempuan yang selama ini berusaha membawa Alex ke kamarnya.

Alex membuka pintu lalu melemparkan begitu saja botol minumnya ke atas sofa, segera menuju lemari es dan mengeluarkan sebotol air dari sana. Dengan rakus Alex menelan cairan segar itu. Dia butuh merehidrasi tubuhnya setelah satu jam melintasi kota ditambah perjalanan ekstranya mendaki bukit. Dia segera melepas kaosnya yang penuh keringat dan melemparkannya ke arah keranjang laundri yang hampir penuh. Hidup sendirian di kota besar ditambah dengan satu kerja full time dan satu part timer membuat Alex sering terlalu lelah untuk membereskan sarangnya.

Sambil kembali ke kulkas untuk mengambil makanan cepat saji, Alex memandang sekeliling. Apartemennya itu hanya memiliki satu ruangan seluas lima belas meter persegi yang dia atur agar bisa memasukkan tempat tidur, sofa, dapur, kulkas, dan tetap memiliki sudut baginya untuk melukis. Secara keseluruhan, tempat itu termasuk rapi untuk ukuran cowok berusia delapan belas tahun. Sebut saja, tidak ada sampah bertebaran, pakaian-pakaian kotor menumpuk di satu tempat, dan hanya ada sedikit tumpukan piring di wastafel. Namun, tetap saja Alex merasa kalau dia bisa membuatnya lebih bersih jika dia memiliki banyak waktu, kemewahan yang tidak lagi dia punya. Sering kali dia tergoda untuk membandingkan apa yang dia punya sekarang dengan masa lalunya, tapi akal sehatnya berkata bahwa hal itu tidak ada gunanya.

"Selamat malam."

Alex langsung terlonjak kaget ketika mendengar sapaan itu. Makaroni keju beku di tangannya terlempar ke atas microwave sementara pemuda itu menoleh ke arah datangnya suara.

"Geez!" desis Alex ketika menyadari siapa yang datang. "Apakah kau tidak bisa masuk melalui pintu?"

Lawan bicaranya tersenyum sambil mengangkat bahu. "Seharusnya kau sudah terbiasa, atau," pria berambut hitam sepunggung yang diikat tunggal itu menunjukkan ekspresi berpikir, "aku harus lebih sering kemari agar kau tidak lupa."

Alex menipiskan bibirnya tanda dia kesal tapi dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan sang tamu. Dia hanya menghela napas.

"Halo, Paman Illa."

Orang yang dimaksud melebarkan senyumnya. Mata hitam itu memandang Alex penuh kasih. Walau dipanggil paman, penampilan orang itu lebih sesuai menjadi kakak Alex. Umurnya tidak lebih dari pertengahan dua puluh, tapi pandangan matanya mengkhianati penampilan. Iris sehitam malam itu memandang dalam seakan telah melihat banyak hal dan menyimpan lebih lagi di dalam dirinya. Alex sering merasa pamannya itu tahu lebih dari yang seharusnya, mengamati dan mengawasi, tapi diam hingga saatnya untuk melangkah. Meski demikian, tidak ada orang di dunia ini yang lebih dipercayai Alex dibandingkan pria itu. Sejak masa mudanya, dia dilatih dan dimentori langsung oleh Illa dan Alex tahu, pamannya itu selalu mendukungnya.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang