Chapter 4

650 115 24
                                    

Kohen terlihat terpukul mendengar jawaban kakaknya hingga kakinya tanpa sadar melangkah ke belakang. "Kakak tidak bisa meninggalkan suku kita. Kakak ...." Kohen menahan napas lalu menelan ludah. "Kakak tidak boleh meninggalkan aku."

Haken menaiki tangga hingga dia sejajar dengan Kohen, memandangi wajah sang adik yang muram. Sebuah senyum tipis tersungging di wajahnya. "Kau lebih cocok memimpin suku. Lihat sendiri bagaimana kau bisa membuat Kenan diam."

"Tapi dia mendengarkanmu, bukan aku," sergah Kohen sengit. "Aku masih terlalu muda dan tidak berpengalaman." Nada suaranya turun, diikuti dengan tatapannya.

Haken mengalihkan pandangannya dari sang adik ke arah desa. Dari bukit, tanah kelahirannya tampak luas membentang. Pondok-pondok kayu tersebar secara sporadis di tengah desa. Suku Haka membangun tanpa terpetak dan tanpa pengaturan. Selama tetangga tidak keberatan, seseorang dapat membangun sedekat atau sejauh yang mereka mau. Tengah desa dipenuhi kesibukan. Dia dapat melihat para wanita menggendong anak, berusaha membuai bayi-bayi agar tertidur sementara tangannya tanpa henti menjahit baju. Dengan cekatan, wanita suku Haka membentuk motif-motif geometris dengan warna biru, merah, dan putih untuk menghias kulit binatang yang disemak. Wanita lain membuat rumbai-rumbai untuk dijahit di ujung rompi atau celana.

Penduduk yang lebih tua merapikan bulu burung sebelum mencelupnya ke dalam getah pohon berwarna biru. Tergantung siapa yang memesan, manik-manik yang menghiasi bulu burung akan berbeda. Haken sendiri memakai dua helai bulu di rambut hitamnya, dengan manik-manik panjang dan bergemerincing sebagai tanda posisinya.

Mata Haken meredup ketika melihat beberapa anak muda sibuk berlarian membawa mangkok kayu berisi air dan obat menuju sebuah rumah yang dijadikan tempat pengobatan wabah. Tak lama kemudian seorang wanita tergopoh-gopoh menggendong anak balitanya sambil menangis ke dalam rumah. Satu lagi penduduknya tumbang. Haken bertanya-tanya dalam hati, apakah dirinya sanggup meninggalkan desa kelahiran yang sedang sekarat.

Pemuda itu menggeleng pelan. Bukan ini kehidupan yang dia inginkan.

"Kau tahu kalau sejak awal aku tidak terlalu berminat menjadi kepala suku." Mata Haken menjelajah lebih jauh, ke arah petak-petak perkebunan yang berada di perbatasan desa dan hutan lebat yang mengelilingi mereka. Hutan Ta'ae, hutan kuno yang ada sejak penciptaan dunia oleh dewa, mengelilingi desa dan melimpahinya dengan kehidupan. Buah, hewan, dan obat, semuanya telah disediakan oleh hutan.

"Tapi Noshi--ayah--memilihku karena aku adalah anak pertama," lanjut Haken mengembalikan pandangannya ke arah Kohen. "Kau lebih cocok menjadi kepala suku, aku memiliki kehidupan lain yang ingin kuwujudkan."

"Perempuan Shui itu sudah meracuni pikiranmu," potong Kohen dingin. Dia menatap sang kakak dengan determinasi yang sama ketika dia menghadapi Kenan. "Dia yang menghasut Kakak untuk meninggalkan kami!"

"Dia memiliki nama, Kohen." Haken merasakan gemuruh amarah naik dalam dadanya ketika mendengar perempuan yang dicintainya dipanggil dengan tidak sopan, terutama oleh adiknya sendiri. "Isla."

"Terserah siapa namanya. Dia merebutmu dari kami." Tangan Kohen terkepal.

Haken menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Aku tidak pergi sekarang, Kohen. Masih ada banyak hal yang harus diselesaikan di sini. Mencegah peperangan adalah salah satunya." Pemuda itu menepuk lengan atas adiknya. "Hanya setelah seluruh penduduk Haka sembuh dan aman, aku akan pergi dan kau yang akan mempimpin mereka di masa damai."

Kohen mengamati kakaknya kembali menapak turun sebelum dia mengikuti. Penjelasan Haken memang masuk akal, tapi hatinya masih tidak terima. Seandainya saja perempuan Shui itu tidak pernah ada, Haken tidak akan berpikir untuk ke Dunia Kedua. Genggaman tangan Kohen mengerat. Dia memang harus melakukan sesuatu untuk menahan sang kakak.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang