Chapter 22

159 41 4
                                    

"Aku ... Haken ...." Akhirnya pemuda itu mendapatkan suaranya dan bisa membalas.

Jantungnya berdetak liar. Haken mulai mengkhawatirkan dirinya. Apakah ini akibat dari pelariannya tadi?

"Aku menemukanmu terseret arus. Beruntung air bermurah hati dan mendamparkanmu ke pinggir sungai." Isla tampak sibuk memisahkan buah-buahan di atas daun lalu memberikannya pada Haken. "Ma-maaf, hanya ini yang kutemukan." Gadis itu tersenyum canggung. "Jika aku kembali ke desa, aku akan membawakan obat dan makanan yang lebih layak. Bagaimana perasaanmu?"

Pertanyaan Isla membuat Haken tersentak. Mendapati dirinya memandang gadis itu tanpa berkedip.

"Pe-perasaaan?" balas Haken.

Mengapa dia ikut gugup?

Ingin sekali dia berkata perasaannya aneh, ganjil. Belum pernah dia merasakan hal ini sebelumnya. Rikuh, malu, dan tersiksa antara ingin terus memandang Isla tapi juga tidak berani menatap gadis itu secara langsung.

"Maksudku, apakah lukamu masih sakit?" tanya Isla lagi, memperjelas pertanyaanya sambil tersenyum maklum.

Gadis itu beringsut maju membuat Haken memundurkan badannya. Baru saat itu rasa sakit dari lukanya kembali terasa membuatnya meringis. Darah kembali mengucur dari bekas gigitan serigala di tangan kiri dan bahunya.

Isla mengambil salah satu daun yang dia kumpulkan bersama dengan buah-buahan dan menyodorkannya di tanah kepada Haken. Dia terlihat takut menyentuh Haken secara langsung.

"Pakai ini untuk sementara waktu. Tekan ke lukamu. Aku akan kembali ke desa untuk mengambil obat yang lebih baik." Isla tersenyum menenangkan sebelum beranjak berdiri. Dia menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. "Maaf, aku harus pergi sekarang. Penduduk desa tidak boleh tahu aku pergi."

Haken tertegun melihat Isla berbicara dan bergerak. Gaun gadis itu berdesir ketika dia bergerak ke arah sungai. Dia tersenyum memandang Haken sekali lagi yang membuat Haken berhenti bernapas selama beberapa saat sebelum menceburkan diri ke dalam air.

Pemuda itu ternganga. Keberadaan Isla lenyap begitu saja begitu masuk ke dalam air. Aneh sekali. Tidak ada kecipak air berlebihan seakan Isla melebur dan menyatu dengan senyawa cair itu. Embusan angin subuh yang segar membuat Haken tersadar. Baru saat gadis itu hilang dari pandangannya, pikiran Haken kembali jernih.

Apa sebenarnya yang terjadi? Siapa gadis itu?

Haken merutuki dirinya yang tidak bertanya lebih banyak untuk mencari informasi. Itu semua karena dia terlalu sibuk dialihkan oleh keanehan yang dimiliki oleh Isla. Mana ada orang yang bisa bercahaya di tengah malam? Dari pakaian dan bentuk wajah, jelas Isla bukan dari suku Haka.

Lalu dari suku mana dia?

Sambil mengerang, Haken menyeret dirinya ke pohon terdekat untuk bersandar. Untung saja, pinggiran sungai cukup subur dan tanaman dapat tumbuh dengan mudah. Luka-lukanya kembali berdarah. Rasa sakit dan ngilu melumpuhkan pemuda itu. Kelelahan dan lapar menguras tenaga Haken hingga dia tidak bisa berdiri apalagi berjalan. Selain itu, dia masih ingin bertemu dengan Isla lagi. Gadis itu mengusik rasa ingin tahunya. Jika Isla benar-benar bukan dari suku Haka, Haken cukup terkejut mengetahui ada suku lain yang tinggal di hutan Ta'ae. Seumur hidupnya, dia hanya tahu bahwa suku Haka adalah satu-satunya yang tinggal di sana. Memang selain desanya, masih ada desa lain di balik gunung, tapi tidak pernah ada pembicaraan kalau ada suku lain yang memiliki fisik yang begitu berbeda.

Lebih jauh lagi. Haken bertanya-tanya, apakah yang akan menunggu mereka di luar hutan Ta'ae? 

Pemuda itu menggelengkan kepala sambil menekan daun yang diberikan Isla untuk menutupi lukanya. Walau awalnya agak sangsi, Haken mendapati cara itu berhasil. Luka di tangannya berhenti mengeluarkan darah setelah beberapa saat. Dia segera memindahkan daun itu ke pundaknya sambil bersandar dan mengumpulkan tenaga.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang