"Dunia kedua?" balas Isla dengan mata terbelalak. "Dunia para dewa?"
Haken mengangguk penuh keyakinan dan semangat. "Kau pernah mendengarnya?"
"Ya." Wajah Isla berubah cerah karena harapan. "Itu juga legenda di sukuku. Konon, dulu suku Shui dan Haka berperang hebat hingga suatu ketika seorang Dewa turun dari Dunia Kedua untuk menghentikan perang tersebut. Tapi, itu hanya legenda ...." Ekspresi Isla kembali meredup.
"Itu satu-satunya harapan kita, Isla." Haken memandang gadis itu penuh kesungguhan, menahan diri dari memegang tangan Isla. "Itu adalah cara agar kita dapat bersama."
Isla kembali menatap Haken lekat. Walau pikirannya berkata bahwa itu hanya legenda, hatinya ingin percaya bahwa itu bisa digapai. Bahkan jika tidak pun, dengan mengakuinya saja, dirinya dapat bertemu dengan Haken lebih lama. Itu sudah cukup. Sesederhana itu perasaannya.
Gadis itu akhirnya tersenyum dan mengangguk. "Aku percaya padamu," ucapnya dengan keyakinan yang sama kuatnya.
Tatapan mata Haken ke arah Isla melembut. Hatinya terasa penuh dengan kegembiraan, melebihi dari apa yang pernah dia rasakan sebelum ini. Untuk pertama kalinya, dia tahu untuk apa dia hidup.
"Setelah wabah selesai, kita akan pegi ke Dunia Kedua. Aku berjanji."
Lagi-lagi isla mengangguk membuat senyum Haken melebar.
"Ikut aku kembali ke sukuku. Aku akan memperkenalkanmu ...."
Isla menggeleng sebelum Haken selesai berbicara. "Tidak, aku rasa itu bukan hal baik ...." Dia menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. "Suku Shui tidak seharusnya bertemu dengan suku Haka. Begitu yang dikatakan oleh legenda atau perang akan terjadi lagi."
Gadis itu kembali menatap Haken lekat. "Aku tidak boleh bertemu dengan sukumu. Bahkan bertemu denganmu adalah kesalahan tapi ...."
"Tapi kau menyelematkan aku."
Isla terdiam sejenak sebelum mengangguk perlahan. Sebuah senyum lemah muncul di wajahnya. "Itu karena aku tidak bisa membiarkanmu hanyut .... Aku menggunakan akar tumbuhan untuk menarikmu kembali ke darat ketika tahu aku tidak bisa menyentuhmu tanpa terluka." Dia memperlebar senyumnya.
"Sukuku tidak memiliki kepercayaan itu. Lagipula aku berjanji akan melindungimu."
Isla kembali kembali menggeleng. "Aku tidak berani melawan kehendak dewa."
Haken berhenti mendesak. Tidak ingin membuat Isla tidak nyaman. Pemuda itu menghela napas. "Baik, tapi maukah kau mengantarku kembali? Aku ... ingin lebih lama bersamamu ...."
Untuk mengatakan itu saja, hati Haken berdebar kencang. Ada rasa lega karena bisa mengatakan perasaannya tapi juga gugup dan malu. Campuran emosi yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Wajah Isla kembali tersipu sebeum dia mengangguk pelan. Gerakan sederhana itu sudah membuat dada Haken dipenuhi bunga bermekaran. Ada kupu-kupu di perutnya yang membuatnya terasa ringan.
"Itu adalah barat." Haken menunjuk langit di mana matahari tenggelam. "Berarti kita ke utara." Dia menunjuk ke arah hulu sungai.
"Ayo."
Isla mengikuti ajakan Haken berjalan menyusuri sungai. Perjalanan mereka ditemani oleh kecipak air sementara mereka berjalan berdampingan. Dekat tapi cukup jauh untuk memastikan mereka tidak bersentuhan. Haken harus menahan diri untuk meraih tangan Isla dan menariknya dalam genggaman. Dia tidak ingin melukai gadis itu. Bulan mulai muncul menemani langkah mereka bersama dengan suara serangga. Malam masih belum terlalu larut hingga berbahaya.
"Apa yang membuatmu ke hutan?" tanya Haken berusaha memulai pembicaraan. Dia memandang Isla. Gadis itu cantik sekali ketika berjalan. Rambutnya yang panjang tertiup angin sepoi-sepoi, berpendar menerangi wajahnya yang lembut. Sungguh berbeda dengan karakteristik suku Haka yang keras. Bahkan para wanitanya juga memiliki bentuk wajah yang tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dunia Kedua
Fantasy[Romance Fantasy] 15+ "Sanggupkah kau melawan semesta yang menentang kita?" Haken, ketua suku Haka berelemen api, bertemu dengan Isla, gadis dari suku Shui yang berelemen air. Legenda berkata, bencana besar akan terjadi ketika kedua suku bersatu...