Chapter 14

183 46 5
                                    

"Tetap jangan bergerak," bisik Haken pada Kenan. Dia mengatakan itu lebih kepada diri sendiri daripada untuk sahabatnya itu.

Kenan tidak menjawab, matanya tertuju pada para pria yang memakai baju berwarna coklat tanah longgar terbuat dari kain kasar dengan tombak mengacung. Mereka membentuk formasi setengah lingkaran sambil terus mendekat hingga jarak ujung mata tombak hanya tinggal sejengkal dari Kenan dan Haken. Haken menelan ludah dengan tidak kentara. Dia tidak boleh menunjukkan kelemahan atau dia akan berada di posisi tawar yang lemah.

"Kami datang dengan damai," ucap Haken lantang, dengan segala keberanian dan kewibawaan yang dia punya.

"Kedatangan suku Haka tidak pernah membawa damai." Sebuah suara berat terdengar dari balik barisan. Tak lama kemudian seorang pria setengah baya terlihat. Para prajurit bergeser sebentar untuk membiarkannya lewat sebelum kembali menutup celah. Bajunya serupa dengan prajurit, tidak banyak ornamen, hanya saja berwarna biru muda cerah. Matanya kecil dan tajam di ujung-ujungnya, mengingatkan Haken pada Isla. Wajahnya serba lancip dengan kumis tipis dan dagu bersih tercukur. Badannya tidak terlalu besar, malah cenderung ringkih dan bungkuk. Namun, Haken dapat merasakan kewibawaan yang besar memancar dari sana.

"Kembalilah melalui jalan yang kalian datangi dan jangan pernah menginjakkan kaki di tanah yang dianugerahkan dewa kepada suku Shui," lanjutnya dengan suara yang sama tegasnya.

"Kami butuh bantuan." Haken memberanikan diri terus berbicara. Kebutuhan sukunya akan obat mendesaknya mengeluarkan setiap tetes keberanian yang tersisa. "Suku Haka terkena wabah dan hanya tanaman obat yang kutemukan di tanah ini yang bisa menyembuhkan. Berikan kami tanaman itu maka kami akan pergi."

Haken berani bersumpah ada sepercik keraguan di wajah pria itu yang segera lenyap di detik berikutnya. Namun wajah itu melunak. "Tidak. Leluhur kami yang mendengar langsung dari dewa untuk sama sekali tidak terlibat dengan suku Haka dalam bentuk apa pun, atau bencana masa lalu akan terulang. Pergilah dari tanah kami dan jangan kembali. Hutan Ta'ae adalah batas yang diberikan dewa pada kita."

Pemuda itu berusaha membuka mulut tapi para prajurit bergerak maju lagi melenyapkan jarak. Haken dapat merasakan ujung tajam tombak menyentuh kulitnya. Namun dia tidak gentar, masih berdiri di tempatnya.

"Kami tidak akan masuk ke dalam desa Anda. Kami hanya meminta tanaman obat itu. Kumohon, demi penduduk kami! Bila suku Shui mengalami hal yang sama, bukankah Anda sebagai ketua suku juga melakukan apa pun untuk menyelamatkan mereka?"

Alis pria itu mengerut. Keraguan itu kembali muncul di wajahnya.

"Bencana justru akan datang bila kalian tidak memberikan yang kami mau!" sahut Kenan mengancam.

Haken menoleh ke arah panglimanya itu dengan mata terbelalak. "Kenan!" sahutnya berusaha membuat pemuda itu berhenti. Namun mata Kenan tampak dipenuhi amarah hingga suara Haken tak lagi sampai kepadanya.

"Berikan tanaman obat itu atau kami akan menyerang tempat ini dan membuat ketakutan kalian menjadi kenyata--"

Kenan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Haken mendorongnya ke samping hingga jatuh. Tempat Kenan berdiri tertancap tombak yang dilempar dari jauh. Haken menoleh dan melihat si kepala suku Shui dalam posisi selesai melempar. Haken dapat merasakan jantungnya turun hingga ke perut. Jalan damai sudah tertutup.

"PERGI!" seru si ketua suku dengan lantang hingga burung-burung di hutan Ta'ae terbang karena terkejut. Haken tidak menyangka pria itu memiliki kekuatan untuk berteriak sekencang itu. "JANGAN PERNAH MENGINJAKKAN KAKI KALIAN KE TEMPAT INI ATAU KALIAN MENGHADAPI KEMARAHAN BULAN!"

Kenan bangkit berdiri dan hendak menyerang yang langsung dihentikan dengan arahan tombak ke lehernya. Haken segera menarik tangan Kenan dan mundur. Dia dapat merasakan perlawanan dari temannya itu tapi Haken menggunakan seluruh kekuatannya untuk menarik Kenan pergi.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang