Chapter 35

167 43 0
                                    

Alex duduk bersandar pada sofa berwarna putih dalam pesawat, memandang ke arah luar jendela di mana matahari telah terbit sempurna. Cahaya pagi matahari menyinari awan yang bergelung di bawahnya bagai selimut kapas, lembut dan menyenangkan. Namun, Alex tidak yakin dia bisa tidur bahkan di kasur awan dengan pikirannya yang terlalu penuh dengan kekhawatiran.

Dengung konstan mesin pesawat mengisi udara dengan nada bosan sama sekali tidak membuat Alex merasa mengantuk, padahal dia harus mengais istirahat yang dibutuhkan sebelum menghadapi pemberontakan dua klan yang selama beribu tahun telah menyokong komunitas sihir. Pantulan kaca jendela kedap udara memberikan gambaran betapa lelahnya dia. Kantung mata menggantung sementara kelopak matanya tampak nyaris tertutup.

Pemuda itu menghela napas. Air mineral dingin yang tersaji di hadapannya hanya diminum setengah. Gerald sudah menawarkannya makan, tapi sama sekali tidak ada hal yang bisa membuatnya ingin memasukkan sesuatu ke dalam perut.

Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, dia sudah mengalami lebih banyak hal daripada lima bulan terakhir. Kepergian Illa yang masih membebani hatinya, keputusannya yang mengubah sebuah dunia dan nasib sepasang kekasih, lalu dalam beberapa jam lagi, dia akan menerima tanggung jawab yang selama ini dia hindari dan akan menentukan apakah perang akan terjadi atau tidak. Alex menyandarkan punggungnya pada sofa empuk sementara tangan menopang kepalanya yang terasa berat. Dia berusaha memejamkan mata, berharap dapat terlelap.

 Dia berusaha memejamkan mata, berharap dapat terlelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alex mengikuti kepala suku Shui ke rumahnya. Bangunan besar dari batu berwarna putih dengan banyak jendela dan atap khas Cina yang melengkung. Jendela-jendela berjajar di sepanjang tembok, tertutup oleh kusen yang diukir dan dicat dengan ornamen berbentuk hewan dengan cat warna-warni. Rumah itu tampak paling besar dan megah di antara lainnya yang hanya berupa rumah batu dengan atap datar. Alex dapat melihat lentera digantung di depan pintu dengan nyala redup, sisa-sisa api setelah semalaman menyala. Sang kepala suku membuka pintu kayu berwarna merah dengan berhias corak binatang menyerupai burung berwarna emas. Catnya agak mengelupas karena cuaca dan waktu.

"Silakan," ajak pria itu sementara dia berjalan masuk.

Alex mengikuti sambil memandang sekeliling. Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun mengintip dari balik kain yang membatasi ruang tamu dengan ruangan yang lebih dalam. Mata bundar berwarna biru itu menatap Alex takut-takut. Sang ibu, wanita paruh baya berambut perak sepunggung, berhias manik-manik, segera meminta anak itu masuk ke kamarnya sementara dia menghampiri suaminya memberi salam.

Sang kepala suku nyaris membuka mulutnya memberi tahu soal kedatangan dewa tapi dengan satu gelengan dari Alex, pria itu terbungkam. Sudah cukup dia diperlakukan dengan berlebihan di depan desa. Alex terpaksa menerima penghormatan dan berlagak berkuasa hanya untuk didengarkan dan menyelesaikan masalah ini. Dia bertanya-tanya apakah Lady Bedelzve juga merasakah kerikuhan yang sama.

"Siapkan teh," ucap pria itu pada akhirnya.

Istrinya tidak berkata apa-apa. hanya melemparkan tatapan ingin tahu pada Alex dan Haken sebelum menghilang di balik tirai. Sang kepala suku membawa mereka ke ruangan yang terletak di sayap kiri bangunan. Alex dapat merasakan lebih banyak mata memandang mereka. Namun ketika dia menoleh, hanya anak tadi yang terlambat menyembunyikan diri. Seperti dugaannya, rumah ini ditinggali oleh keluarga besar dari berbagai generasi.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang