Chapter 23

152 40 1
                                    

Ketika Haken hendak membuka mulutnya, keraguan membuatnya batal bertanya tentang obat yang dimaksud. Bukan tentang apakah Isla bisa dipercaya atau tidak, tapi lebih ke ketidaknyamanan Haken untuk merepotkan Isla lebih jauh. Apalagi gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya. Pemuda itu menutup kembali mulutnya. Mungkin nanti ketika dia sudah bisa membantu Isla melakukan sesuatu ketika lukanya sembuh.

Namun hatinya berkelit, Kohen sedang terbaring lemah. Dia sedang berpacu dengan waktu.

"Ada apa?" tanya Isla ketika menyadari Haken terdiam cukup lama dan sedang bergumul sendiri dengan pikirannya. "Apa lukamu terasa sakit lagi?"

Haken menggeleng dan tersenyum tipis. "Aku sedang memikirkan penyakit yang menimpa sukuku."

Seluruh lukanya sudah tertutup oleh racikan yang dibawa oleh Isla. Haken dapat merasakan memudarnya rasa sakit, tapi juga rasa kantuk yang mulai menyerang. Kepalanya terasa ringan.

"Apa yang terjadi?" tanya Isla seraya duduk di samping Haken, cukup dekat hingga Haken dapat merasakan hangat tubuh Isla tapi cukup jauh sehingga mereka tidak bersentuhan.

Jantung Haken kembali berdetak kencang. Kedekatan itu membuat pikirannya kosong. Dia tidak bisa langsung menjawab dan perlu waktu menenangkan diri. Isla menatapnya dengan minat penuh, siap mendengarkan kisah Haken yang membuat pemuda itu makin salah tingkah.

Setelah beberapa saat menarik napas dalam, akhirnya Haken lebih tenang walau detak jantungnya masih terus meningkat. "Desaku terkena wabah." Dia mulai bercerita, mengalihkan pandangannya dari Isla ke kejauhan. Berharap arah yang dia pandang adalah arah desanya. Seharusnya dia berada di selatan Ta'ae, mungkin itu akan menjadi titik awal menunjukkan arahnya pulang.

"Banyak dari penduduk yang terkena penyakit itu. Aku tidak tahu bagaimana asalnya dan bagaimana bisa menyebar." Haken menggeleng. "Dan kini, adikku, juga terbaring karena penyakit itu."

"Seperti apa gejalanya?" tanya Isla penuh perhatian. Dia terlihat serius mendengar kisah Haken.

"Seminggu sebelum meninggal, penderita akan lemas, lalu perlahan-lahan akan kehilangan tenaganya hingga harus berbaring dan hingga akhirnya meninggal." Wajah Haken berubah murung, dia kembali teringat Kohen. Satu per satu wajah dari penduduknya terbayang, mereka yang tidak bertahan hidup atau yang saat ini sedang meregang nyawa.

Benar. Haken tidak seharusnya duduk dan beristirahat. Dia harus menemukan obatnya. Setiap waktu yang berlalu berarti lebih banyak yang tidak diselamatkan. Kohen mungkin memiliki setidaknya empat hari tapi hari ini, mungkin ibu dari seseorang meninggal, atau seorang istri meninggalkan suaminya. Pemuda itu berusaha bangkit, tapi rasa sakit kembali menyengat. Gigitan serigala itu ternyata cukup dalam hingga mengenai tulang bahunya.

"Jangan memaksakan diri atau lukamu akan terbuka." Isla secara reflek ingin menahan Haken berdiri tapi dia menghentikan gerakannya dan memilih diam. Haken sendiri terpaksa kembali duduk dan menyandarkan diri pada pohon. "Aku tahu, kau ingin segera kembali dan menolong penduduk desamu, tapi, memaksakan diri hanya membuat proses penyembuhan lebih lama."

Haken tidak menjawab. Dia hanya mengangguk sambil berusaha menekan rasa sakit yang masih menusuk-nusuk.

Isla terdiiam. Dia memandang Haken selama beberapa saat seakan berpikir sebelum akhirnya dia berbicara, "A-aku tidak yakin, tapi kurasa aku pernah mendengar soal penyakit itu."

Haken langsung menoleh ke arahnya, mengabaikan rasa sakit yang terasa ketika dia melakukan gerakan tiba-tiba. "Apa?"

Kemungkinan sekecil apa pun itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Namun, Isla hanya menggeleng.

"Aku harus menanyakannya kepada guruku untuk lebih jelas. Aku tahu ada penyakit yang memiliki gejala yang sama ...."

"Apa ada obatnya?!" seru Haken memajukan tubuhnya tanpa sadar, penuh antusiaisme, mengabaikan rasa sakit.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang