Chapter 13

246 50 2
                                    

"Menurutmu, apakah legenda tentang Dunia Kedua itu benar?" tanya Haken di sela-sela perjalanan. Matahari bersinar terik di atas mereka. Udara lembab hutan membungkus mereka dengan keringat.

Kenan yang ditanyai sedang meminum air dari perbekalan. Dia menutup kembali kantong sebelum menatap Haken dengan tatapan heran. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya?"

Haken hanya tersenyum kecil sebelum menjawab, "Tiba-tiba saja terlintas."

"Kukira kau tidak tertarik dengan dongeng sebelum tidur," sahut Kenan kembali berjalan sementara Haken menebas batang pohon yang melintang dengan kapaknya.

"Aku hanya ingin tahu di mana jalan masuk ke tempat para dewa itu." Haken melihat tiga garis yang tak tampak di balik dedaunan. Dia lega karena masih berada di jalan yang benar. Isla melakukan janjinya.

"Untuk?" tanya Kenan, alisnya mengerut curiga, membuat Haken sedikit gugup. "Sejak dulu kau paling malas untuk hal-hal seperti itu. Apa yang membuatmu tiba-tiba tertarik?"

Pemuda itu menyamarkannya dengan sebuah senyuman datar. "Aku hanya berpikir, mungkin saja di dunia para dewa ada obat untuk wabah. Jika memang tempat itu seperti yang diceritakan oleh shaman."

Haken mengembuskan napas lega ketika pertahanan Kenan kembali turun. Dia membantu Haken menebas sebuah batang pohon yang melintang di jalan mereka. "Idemu boleh juga. Aku tidak terpikir sampai sana. Ibuku pernah cerita, kalau letak pintu masuk ke Dunia Kedua ada di sisi tenggara hutan Ta'ae." Kenan menebaskan kapaknya sekali lagi dengan segenap tenaga dan batang pohon itu pun terpotong dari induknya. Haken membantu untuk membawanya ke pinggir. "Kau tahu, daerah terlarang."

"Mengapa?" tanya Haken kembali berjalan, berusaha tampak tidak terlalu tertarik. Kenan adalah cucu dari shaman, dia pasti tahu lebih banyak. Bagaimana pun juga, dia dibesarkan dengan legenda dan kepahlawanan nenek moyang bahkan jika dia menolak mendengarkan. Bahkan Haken berani bertaruh kalau Kenan hapal seluruh cerita penciptaan suku Haka. 

"Karena takut mengganggu para dewa." Kenan menjawab itu seperti Haken menanyakan tentang berapa jumlah kaki mereka. "Aku tahu kau membenci hal-hal seperti ini, tapi keterlaluan sekali kau tidak ingat alasan itu."

Haken meringis sambil menebas rumput yang setinggi dada, membuka jalan. "Aku hanya tahu tempat itu tidak boleh dikunjungi. Sama seperti kita tidak boleh terlalu jauh ke selatan." Dia menatap jalan yang masih setengah tertutup di depannya. "Sama seperti tujuan kita."

"Yeah, karena di selatan konon tempat tinggal suku yang memiliki ciri yang berbeda jauh sekali dengan kita." Kenan ikut memandang ke depan. "Suku dalam legenda yang menyembah bulan, bukan roh nenek moyang." Kenan menggeleng tidak percaya. "Itu cerita dari nenekku, tapi aku tidak yakin suku seperti itu benar-benar ada."

"Bagaimana kalau suku aneh itu memang hidup di selatan hutan Ta'ae?" Haken mencari-cari tanda dari Isla dan menemukannya di akar pohon tebal. Samar sekali, jika tidak dicari mungkin hanya akan terlihat seperti cakaran hewan buas.

Kenan mendengkus. "Kalau mereka benar-benar ada, pasti kita sudah bertemu dengan mereka. Berapa kali kita nakal dan bermain terlalu jauh ke selatan? Kau tidak ingat ketika kita masih lebih kecil dan menjelajah jauh sekali."

Haken tidak menjawab. Memang benar, dulu mereka gemar bereksplorasi. Sebelum jabatan ketua suku jatuh ke pundaknya. Pemuda itu tersenyum, mengingat masa-masa di mana dia masih bebas. Tidak ada tanggung jawab. Tidak ada konsekuensi yang lebih parah dari pukulan ke pantatnya atau jam latihan yang diperpanjang. Kini nasib seluruh suku ada di tangannya. Satu tindakan salah maka akan berakibat fatal. Pemuda itu pun bertanya-tanya, apakah yang dia rencanakan ini tepat? Bagaimana bila perhitungannya salah dan suku Haka musnah karena kecerobohannya.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang