Chapter 34

155 44 4
                                    

Haken membeku melihat perang terjadi di hadapannya. Kedua suku saling menyerang dan melukai. Pemanah di bagian belakang tidak berhenti melepaskan tembakan. Sementara di bagian depan, sukunya menggunakan kapak, berhadapan dengan tombak suku Haka. Bola-bola api bertemu dengan aliran air. Lapangan di depan desa suku Shui dipenuhi keringat, darah, dan mayat, terinjak-injak seakan tak memiliki kehormatan.

Hati Haken seakan jatuh ke tanah ketika dia melihat seorang pemuda Haka tewas dengan panah menembus dada. Dia mengenalinya sebagai teman masa kecil yang pernah bermain bersama sebelum dia harus memenuhi tanggung jawabnya sebagai ketua suku.

Kepala Haken pusing dengan bau anyir, tapi dia tahu dia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan perang.  Pertanyaannya adalah bagaimana dia menarik perhatian semua orang di tengah kekacauan. Pandangannya kemudian jatuh pada Alex yang saat itu sedang memandang dengan tatapan terkejut dan penuh teror. Wajahnya pucat dengan mata terbelalak.

"Dewa!" serunya membuat Alex keluar dari lamunan. Mata birunya kembali fokus. "Kita harus menghentikan perang sebelum jatuh lebih banyak korban!"

Alex mengangguk walau kebingungan masih menguasainya. Terlihat kalau dia tidak pernah melihat perang sebelumnya. Bau anyir darah, jeritan kesakitan dan kematian yang begitu pekat di udara membuat seorang dewa terguncang. Haken juga.

Sang dewa mengambil napas panjang, berpikir. Sesuatu tampak mengganggunya tapi tak butuh waktu lama hingga dia menggenggam tangannya dengan tekad baru.

"Dewa, mohon, jangan melukai lebih banyak orang." Haken mengingatkan. Alisnya berkerut dalam. Jangan sampai ada korban yang berjatuhan lagi akibat sihir dewa yang perkasa. Kedua suku sudah kehilangan terlalu banyak.

Pemuda itu mengangguk singkat. Selagi Haken melihat, Alex sudah fokus merapal mantra. Tubuhnya berpendar dengan warna putih, membuat Haken bertanya-tanya, sihir apa yang akan dia keluarkan.

Selagi menunggu Alex menyelesaikan sihirnya, dia dapat melihat Kenan di baris depan. Gigi Haken bergemeletuk dalam rongga mulutnya. Bahkan saat dia melihat, pemimpin prajurit itu sedang membantai dua suku Shui sekaligus dengan ayunan kapaknya dan menghanguskan kepala seorang lain dengan bola api. Kenan bertarung seperti kesetanan. Amarah merambat naik di dada Haken, orang itu telah menyiksa adiknya dan memimpin seluruh suku Haka menuju kemusnahan hanya karena legenda kuno serta kebencian tanpa alasan terhadap suku yang tak dikenal. Tangan Haken menggenggam erat, menahan emosi. Kenan harus dihadapkan pada hukum nenek moyang.

Alex melompat turun membuat Haken tersentak keluar dari lamunan dan secara naluri, mengikutinya. Namun sebelum Haken benar-benar memahami apa yang terjadi, pemuda berambut pirang itu menghantam tanah dengan tangannya.

Seketika tanah bergetar hebat dan retakan muncul dari bekas pukulan Alex, membelah medan perang. Retakan itu menyebar, bercabang memenuhi medan perang, mengganggu keseimbangan mereka yang sedang bertempur. Penyerangan berhenti, seluruh prajurit sibuk mempertahankan keseimbangan. Beberapa langsung tersungkur di tanah.

Lebar retakan yang muncul hanya semeter dan dangkal sehingga tidak dapat menelan pria dewasa, hanya untuk memerangkap gerakan. Alex berdiri lalu mengebaskan tinjunya ke samping. Seketika batu-batu mencuat dari tanah. Beberapa mengurung orang hingga leher bagai penjara, membuat mereka tidak bergerak, sementara yang lain membentuk barikade menghalangi serangan.

"Cukup!" serunya lantang setelah gemuruh berakhir, membuat perhatian semua orang terarah pada pemuda berpakaian aneh dan berambut pirang yang tiba-tiba berjalan masuk ke dalam arena perang.

Untuk sesaat keadaan hening, kedua belah pihak memandangi Alex dengan terngaga. Menggunakan kesempatan itu, Haken berjalan di depan Alex.

"Aku membawa seorang dewa dari Dunia Kedua!" seru Haken dengan suara nyaring, lebih keras dari teriakan Alex sebelumnya. Pemuda itu sampai berjengit ketika mendengar.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang