Chapter 36

187 43 0
                                    

Pesawat itu akhirnya mendarat di landasan terbang Luton, London. Sebuah lapangan terbang khusus untuk jet pribadi. Alex merapikan dasi sebelum memakai jas berwarna biru. Dia memandang dirinya di kaca, nyaris tidak mengenali bayangannya, padahal beberapa bulan lalu ini adalah baju yang selalu dia pakai.

Pemuda itu menghela napas sambil memberi gel pada rambut pirangnya agar lebih mudah diatur, menarik seluruhnya ke belakang seperti yang diwajibkan oleh sang ayah. Dia terdiam sejenak di depan kaca lalu memutuskan untuk membiarkan rambutnya tetap menutupi dahi, membulatkan resolusinya untuk menjadi dirinya yang baru, yang meletakkan masa lalu pada tempatnya.

Pintu pesawat dibuka oleh pramugari dan tangga diletakkan di depannya. Tanpa membuang waktu, Alex bergerak turun secepat yang dia bisa, di mana sebuah sedan hitam sudah menunggu. Dia melempar pandang ke arah Gerald yang membusungkan dada. Tanpa sadar pemuda itu menyunggingkan senyum. Gerald lebih cocok menjadi asisten pribadinya karena cakap menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan. Alex melihat jam tangan, jam lima sore. Kecemasan merayap naik di dadanya.

Bagaimana jika dia terlambat atau bagaimana bila ada kecelakaan atau macet?

Menekan ketegangannya, Alex masuk ke dalam mobil disusul oleh Gerald. Tanpa berkata apa pun, sopir membawa mereka ke tujuan, kastel tua di perbatasan Wales dengan England. Tempat di mana Dewan menentukan banyak hal selama ribuan tahun sejak ditetapkannya Pakta oleh leluhurnya, Yehi U'r Kohasa.

Alex mengetuk-ngetukkan tangan di jam tangan, tanda ketidaksabarannya. Perjalanan ke sana dari bandara menggunakan mobil memakan waktu dua jam lebih. Dia seharusnya tiba tepat waktu sebelum keadaan menjadi lebih tidak terkendali. Gerald menawarinya sampanye, tapi ditolak oleh Alex. Dia memilih air soda untuk mengurangi ketegangan tanpa mengompromikan ketajaman pikirannya.

"Kita akan tiba tepat waktu." Pemuda itu berkata untuk menenangkan.

Alex hanya bisa membalas dengan sebuah senyum tipis, terlalu kaku untuk mengucapkan satu kata pun. Dia berdoa dalam hati agar seluruh rencananya berjalan lancar. Dalam benaknya, Alex memikirkan panggilan yang dia lakukan sebelum mendarat.

Panggilan pertama ditujukan pada sang ayah, memberi tahu bahwa dia dalam perjalanan pulang dan akan menerima kedudukan sebagai kepala keluarga Willoughby, memenuhi keinginan pria itu. Alex masih ingat respon ayahnya, terdiam selama beberapa detik sebelum berkata bahwa dia akan mengurus semuanya.

Dingin. Seperti hubungan mereka selama bertahun-tahun. Alex tidak berharap ayahnya akan meloncat gembira mendengar kabar kepulangannya tapi dia sedikit berharap pria itu akan mengucapkan selamat datang atau menunjukkan sedikit ketertarikan. Alex menghela napas. Dia memijat keningnya. Selama ini dia berharap dia akan mendapat pengakuan atau setidaknya sedikit perhatian dari orang yang berbagi genetik dengannya. Bahkan ketika dia memberontak dari sang ayah dan melarikan diri, orang itu hanya mengkhawatirkan tentang kepemimpinan keluarga Willoughby, bukan keberadaan dirinya. Alex menghela napas sambil memejamkan mata.

Percakapannya dengan Illa muncul kembali dalam pikiran. Tanpa sadar beban dalam hatinya berkurang membuat dadanya sedikit lebih ringan. Ketenangan turun ke dalam kesadaran Alex sementara dia mengingat-ingat pertemuannya dengan pria tersebut.

Benar, Alex tak lagi membutuhkan pendapat dari Nathanael. Bahkan hari ini, dia datang dan mengambil tanggung jawab sebagai kepala keluarga bukan karena ayahnya. Tentu saja dia tidak bisa membiarkan keluarganya berada dalam bahaya tapi dia tidak lagi mengharapkan hal yang tidak akan diberikan oleh Nael.

Akhirnya sebuah senyum muncul di wajah Alex membuat Gerald yang sedang menyesap wine memandangnya heran, tapi pemuda itu memutuskan tidak berkata apa-apa. Alex mengambil botol air mineral dari kulkas dan menegaknya sambil menatap langit yang berubah jingga.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang