Chapter 16

195 47 1
                                    

Isla menoleh dan menatap Haken dengan mata birunya yang berkilau. Haken sempat kehilangan kata-katanya, mendapati betapa indahnya mata itu, sebelum dia segera mengendalikan dirinya kembali. Pemuda itu berdehem sekali untuk mengulur waktu dan menyusun kembali pikirannya.

"Aku ingin tahu lebih banyak tentang legenda, tentang dewa yang menjadi alasan mengapa Haka dan Shui tidak dapat bersatu. Di suku Haka, legenda tersebut nyaris terlupakan. Hanya keluarga shaman yang masih mengingat dengan jelas isi legendanya, berkata bahwa suku Shui adalah suku yang terbuang karena telah menyebabkan perang." Haken berhenti sejenak, kembali terpesona bagaimana Isla bisa tampak begitu menawan di bawah cahaya bulan. Dia menutup matanya sejenak untuk terus dapat berkonsentrasi pada perkataannya.

"Dewa menyingkirkan kalian ke sudut terjauh hutan Ta'ae yang kering dan jauh dari berkah dewa untuk membuat kalian kelaparan dan musnah. Apakah benar, tempatmu adalah tempat yang tandus dan tidak ada makanan?"

"Tidak," balas gadis itu dengan wajah terkejut. Nadanya sempat meninggi karena ketidakpercayaan. "Suku Shui diberkati dewa. Kami mendapatkan tanah yang dekat dengan banyak sumber air. Danau, pantai, sungai." Mata Isla berbinar membayangkan desanya. Seulas senyum tipis menggantung di bibirnya. "Kami memang jarang ke hutan karena kami memegang teguh apa yang dikatakan oleh dewa, bahwa hutan adalah batas kami dengan suku Haka. Suku yang tidak boleh kami temui karena dewa menitahkannya demikian. Itu semua agar perang besar tidak terjadi lagi."

Isla terdiam sejenak. Tatapannya berubah sendu dan jatuh ke danau yang beriak pelan. 

"Apakah kita telah melanggar perintah dewa? Maksudku, aku sudah melanggar perintah dewa dengan menjelajahi hutan dan bertemu denganmu." Isla kembali memandang Haken. Matanya berkaca-kaca. "Dan kini suku kita di ambang peperangan."

Hati Haken terasa terhimpit beban tak kasat mata. Kekhawatiran dan rasa bersalah Isla dapat dirasakannya. Pemuda itu menggeleng pelan.

"Tidak, pertemuan kita bukanlah kesalahan. Aku tidak pernah menyesal bertemu denganmu," ucap Haken menyunggingkan senyum seraya menatap Isla lembut. Walau dia merasakan sengatan rasa bersalah yang sama, Haken tahu dia tetap harus kuat demi mereka berdua. "Pasti ada jalan keluar bagi kita. Ingat tentang Dunia Kedua, tempat para dewa, tempat kita dapat bersatu. Aku pasti akan membawamu ke sana."

Isla ikut tersenyum walau matanya masih memancarkan rasa tidak nyaman. "Tapi, bagaimana kalau kita tidak pernah menemukan jalan menuju ke sana?"

"Kita akan menemukannya ...." Haken kemudian teringat perkataan Kenan tadi siang. "Bagian tenggara hutan Ta'ae. Kamu pernah dengar?"

"Aku hanya tahu tempat itu terlarang. Bahkan di suku Shui ada larangan yang lebih keras untuk tidak menjelajahi daerah itu. Konon, ada asap beracun dan hewan buas di sana."

Haken menggeleng. "Tidak, daerah itu adalah daerah sakral bagi suku Haka. Dilarang masuk karena takut terkena kutukan dewa yang murka karena wilayah sucinya dilanggar, tapi tadi aku mendengar bahwa jalan menuju Dunia Kedua berada di sana."

Mata Isla membulat sementara napasnya tertahan penuh antisipasi. "Apakah itu benar?"

"Aku tidak tahu, tapi hanya itu bagian hutan Ta'ae yang belum dijelajahi. Itu adalah satu-satunya kesempatan kita." Haken menatap Isla sungguh-sungguh. "Kita akan ke sana besok untuk melihatnya."

"Kau tidak takut?"

"Kemarahan dewa tidak lebih menakutkan daripada kehilanganmu, Isla." Haken tersenyum lemah. "Aku tidak bisa membayangkan bila kita harus berpisah."

Isla membalasnya dengan sebuah senyum manis yang membuat Haken menahan napas. Ingin sekali pemuda itu meraih Isla dalam pelukan, menyentuh kulitnya yang berkilau, merasakan bahwa Isla bukan hanya ilusi, tapi kenyataan hidupnya.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang