Chapter 28

176 49 10
                                    

"Apa maksudnya sihir dimensi?" tanya Alex tidak percaya. "Siapa yang memakainya?"

Illa menoleh ke arah Alex. Senyumnya kembali. "Lebih baik kita ke tempatnya langsung."

Alex belum sempat membalas ketika Illa meneleportasinya dengan tiba-tiba. Rasanya seperti sedikit melayang sebelum kakinya kembali menjejak tanah padat. Pemuda itu memandang sekeliling. Griffith Park. Hatinya mencelus ketika menyadari di mana dia. Monumen berwarna putih di tengah rerumputan dengan Griffith Observatory berdiri gagah di belakang mereka.

"Paman ...." Napas Alex tertahan. Matanya menyapu sekeliling. Dia teringat bagaimana dia ke sini setelah mimpi pertamanya. 

"Sepertinya kau sudah bisa menduga siapa yang memakai sihir itu," ucap Illa dengan mata waspada. Beruntung hari sudah malam, melewati jam buka observatori sehingga tempat itu sepi. Keberadaan dua orang dalam kegelapan tidak akan terlalu menarik perhatian para penjaga.

"Apakah Paman tahu tentang ...?" Kata-kata Alex berhenti di udara, keraguan meracuni benak.

"Aku dan Airlann punya kecurigaan tapi tidak berharap benar-benar terjadi." Dia terus memandang sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan pelintas dimensi. "Karena itu aku tidak memberitahumu--"

Suara Illa terhenti ketika terdengar suara gemeresak dedaunan. Baik dia maupun Alex menoleh ke arah yang sama. Pria berambut hitam itu memberi kode agar Alex diam dengan meletakkan jari telunjuk di mulut, sementara dirinya berjalan mendekat dengan langkah ringan agar tidak mengejutkan siapa pun yang bersembunyi di balik pepohonan yang mengelilingi taman tersebut. Alex menahan napas sambil bersiap dengan sihir untuk menyerang.

Ketika Illa cukup dekat, dia menggerakkan tanah dengan sihirnya. Membukakan jalan dengan menyingkirkan pepohonan di arah sumber suara. Tidak perlu mantra, tidak perlu persiapan, Illa melakukan itu semudah membalikkan telapak tangan. Tanah merekah dengan suara gemuruh pelan, membuat semak-semak terjungkal ke kanan kiri retakan yang muncul, memunculkan jalan untuk satu orang yang akhirnya menunjukkan siapa yang bersembunyi di baliknya.

Seorang pemuda berambut hitam terkepang sepunggung, menggunakan rompi dari kulit binatang berwarna coklat dihias dengan motif geometris di ujung-ujungnya. Celananya juga dari bahan yang serupa berwarna coklat lebih tua. Garis wajahnya tegas dengan mata dalam dan tajam, menatap penuh kewaspadaan dan penuh perlawanan ke arah Illa. Pemuda itu tampak terluka dengan panah mencuat di lengan kiri, berjongkok di depan seorang wanita yang berambut pirang nyaris perak dengan manik-manik bundar mengiasi rambutnya yang terurai. Bajunya memiliki kerah kimono berwarna biru tua dan putih dengan ornamen bunga tersulam di kainnya. Mata birunya dipenuhi kekhawatiran dan ketakutan.

Haken dan Isla.

Alex merasa dirinya disorientasi. Dia mundur selangkah untuk mendapatkan kembali keseimbangannya. Napasnya memburu seiring dengan tatapan yang terpaku pada kedua orang yang begitu akrab. Haken dan Isla bukan sekadar mimpi. Mereka adalah orang yang nyata dan hidup, berasal dari dimensi lain. Itu berarti semua permasalahan yang dia lihat itu juga benar-benar terjadi. Ancaman perang antar dua suku, wabah, kebimbangan Haken, semuanya bukan hanya imajinasi. Bukan hanya manifestasi keraguan dan rasa bersalahnya.

"Selamat malam, selamat datang di dunia kami," sapa Illa dengan senyum tenang, sama sekali tidak terintimidasi. Dia seperti sedang menyambut seseorang ke tokonya.

"Pergi!" seru Haken dengan bahasa yang dipahami oleh Alex. Dia tidak menyangka bisa mengerti bahasa dari dimensi lain. Kalau dipikir-pikir, bagaimana pun juga, dia memimpikan mereka dan memahami apa yang mereka bicarakan.

"Tenanglah, kami tidak berniat mencelakakanmu," balas Illa sama tenangnya, tidak terintimidasi. "Aku mengenalmu dan nona di belakang," dia memandang Isla yang berjengit ketika tatapan mereka bertemu. "kakimu yang terkilir butuh bantuan sebelum menjadi lebih parah."

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang