Chapter 10

350 73 6
                                    

"Haken!" panggil Kenan menyadari kepala sukunya terdiam sejak tadi.

"Aku di sini, Kenan," balas Haken sambil memandang ke arah Kohen yang sedang diminumkan ramuan dari mangkok kayu oleh Shaman yang menopang kepala remaja itu agar lebih tinggi dari dada. Wanita tua berambut putih itu melakukannya sambil mengucapkan mantra. Suaranya lirih dan Haken tidak dapat mendengar jelas, yang dia tahu, Shaman berhubungan dengan dewa dan roh-roh leluhur.

Kohen terbatuk ketika berusaha menelan ramuan tersebut tapi adiknya itu tetap berusaha minum walau Haken tahu, keadaannya makin lemah. Wabah yang menyerang desanya memang tidak terlihat. Tanpa gejala, seseorang tiba-tiba saja menjadi lemas, dan keadaannya terus menurun hingga tidak bisa bangun dari tempat tidur. Seminggu sejak seseorang tidak bisa bangun dari tempat tidur, penyakit aneh itu akan merenggut nyawa. Tanpa suara, penderita seakan tertidur ketika hal itu terjadi.

Shaman sudah mencoba segala ramuan yang dia tahu, melakukan pengusiran roh jahat, dan melakukan ritual kepada dewa. Namun hasilnya nihil. Hari demi hari korban terus berjatuhan. Genap sebulan setelah gejala pertama muncul sudah lebih dari sepuluh orang meninggal.

Seminggu lalu, Kohen, adiknya tidak bisa bangun dari tempat tidur. Dia dapat tewas sewaktu-waktu.

"Apakah ini berhasil?" tanya Kenan ketika melihat Shaman menarik mangkok yang isinya tinggal seperempat dari bibir Kohen. Anak muda itu sudah tidak memiliki tenaga untuk menelan.

"Aku tidak tahu," ucap Haken tegang. Raut wajahnya kaku dan matanya memandang tajam ke arah adiknya, mengamati setiap detil perubahan yang terjadi. "Tapi ini satu-satunya kesempatan kita. Jika Kohen tidak meninggal karena ramuan yang salah, dia akan meninggal karena penyakit."

Kenan tidak bertanya lagi. Wajah kepala kepala sukunya terlihat lelah dengan kantung mata menghitam. Dia berani bertaruh kalau Haken nyaris tidak tidur sejak Kohen tidak bisa bangun dari tempat tidur. Sebagai gantinya, Kenan menatap ke arah Kohen yang terlelap seusai minum. Tidak tampak perubahan yang berarti dari tubuhnya.

"Istirahatlah sambil menunggu Kohen bangun," ucap Kenan setelah sepi menggantung di udara. Shaman sudah pergi dan hanya ada mereka berdua di rumah kayu milik Haken.

Haken menggeleng pelan, membuat Kenan mendesis tajam.

"Kau sudah berapa minggu tidak tidur, hah?! Daripada kau menjadi korban berikutnya dari wabah ini, tidurlah! Aku bisa menugaskan salah satu prajurit untuk menjaga Kohen dan membangunkanmu!" bentak Kenan.

Haken akhirnya menghela napas dan berjalan menuju tempat tidur kayu berlapis kain dan anyaman dari akar pohon yang terletak berseberangan dengan Kohen. Penderita wabah yang lain dikumpulkan di satu tempat, tapi Haken menolak. Dia ingin adiknya berada di bawah pengawasannya. Dia duduk lalu menatap panglima perangnya. 

"Kau juga beristirahatlah dan tidak perlu menempatkan siapa pun di depan rumah. Aku pasti terbangun mendengar suara sekecil apa pun," ucap Haken tersenyum lemah.

"Baiklah, terserahmu saja." Kenan mendengkus sambil berjalan lalu menghilang di balik kain penutup pintu.

Haken sekali lagi menatap ke arah sang adik sebelum menghela napas dan membaringkan tubuh. Lama sekali dia memandang langit-langit rumah, tempat ujung-ujung kayu berkumpul di tengah, memberikan perlindungan dari terik dan hujan. Pikiran pemuda itu berputar-putar tentang banyak hal, tentang Kohen, sukunya, Dunia Kedua dan tentang Isla. Entah sejak kapan dia kehilangan kesadarannya. Tidurnya tidak lelap, dipenuhi bayangan-bayangan buram yang bergantian. Hingga tiba-tiba matanya membuka, kembali memandang kayu-kayu bertumpuk.

Cahaya matahari yang lemah masuk melalui jendela. Dari kejauhan terdengar kegiatan desa yang mulai terbangun. Haken merasakan kepalanya sakit dan tubuhnya pegal, tapi dia berusaha bangkit dari tempat tidur. Ketika duduk bersila di atas alas tidurnya, sakit kepalanya makin menjadi. Dia membutuhkan waktu beberapa saat hingga pusingnya reda.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang