Chapter 15

204 48 1
                                    

"Kita harus menyerang lebih dahulu!" Kenan menaikkan suaranya sambil memandang para tetua. Matanya memancarkan keteguhan yang menular. Sebuah keyakinan tak tergoyahkan. "Suku Shui adalah legenda lama yang diceritakan nenek moyang, sebagai pengingat agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Beratus-ratus tahun yang lalu, terjadi perang besar yang nyaris memusnahkan hutan Ta'ae dan suku Haka. Dewa turun dan memberi kedamaian serta mengusir suku Shui, membuang mereka ke tanah tandus agar mereka mati sebagai hukuman dosa-dosa mereka."

Kenan berhenti sejenak, memastikan perhatian pata tetua masih tertuju kepadanya. Haken menahan napas, seandainya dirinya tidak dipilih oleh roh nenek moyang, Kenan akan menjadi ketua suku yang jauh lebih baik daripada dirinya. Ingin rasanya dia membiarkan Kenan yang memimpin, menyingkirkan beban itu dari pundaknya. Namun, Haken mengembuskan napasnya pelan, berusaha mendapatkan kembali kendali akan dirinya, ada banyak hal yang dipertaruhkan di sini. Dia tidak boleh kalah.

"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau mereka masih ada dan beranak cucu. Kita harus meneruskan amanat dewa dan menghancurkan mereka sebelum mereka menyerang dan peperangan besar kembali terjadi seperti masa lalu!" Kenan mengakhiri pidatonya dengan menghantamkan tangan ke meja kayu.

Untuk sesaat, suasana hening. Kerlip obor yang menerangi pondok pertemuan menjatuhkan bayang-bayang pada kerutan dalam di wajah para tetua. Orang-orang yang hidup sezaman dengan ayahnya. Haken selalu merasa terintimidasi berada di antara mereka, bahkan ketika dia yang seharusnya memberikan keputusan.

"Kita tidak boleh bertindak terburu-buru." Suara Haken memecah kesunyian membuat seluruh pandangan terarah padanya, membuat pemuda itu merasa kembali menjadi anak kecil yang menyusup ke rapat penting sang ayah. Walau gentar, pemuda itu berusaha menampilkan wajah tenang dan berwibawa. Berhasil, mungkin. Setidaknya ada tatapan menimbang di mata para tetua. Mereka menunggu Haken mengutarakan pendapatnya. 

Perlahan, dia mengambil napas sebelum melanjutkan, "Aku juga berada di sana. Suku Shui hanya tidak ingin kita memulai kontak dengan mereka. Ketika aku dan Kenan pergi pun, mereka tidak mengejar. Sebuah tindakan yang tidak etis jika kita menyerang suku yang tidak memiliki niat jahat pada kita."

"Aku tidak setuju!" Kenan langsung menjawab. "Kita tidak tahu apa yang mereka lakukan sekarang. Bukan tidak mungkin Suku Shui sedang mempersiapkan perang. Ada alasan mengapa dewa menyingkirkan mereka dari kelimpahan hutan Ta'ae! Lagipula, jika kita menyerang mereka dan memusnahkan mereka, tanaman obat yang menjadi jawaban dari wabah akan kita dapatkan."

Ucapan Kenan membuat para tetua bergumam satu sama lain. Haken dapat merasakan tatapan Kohen, adiknya ke arahnya, memintanya mengatakan sesuatu sebelum keadaan menjadi lebih parah dan para tetua berpihak pada Kenan.

Haken berdeham agak keras sambil memukul meja agar perhatian kembali ke padanya. "Perang bukanlah hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus kita persiapkan, senjata, bekal, prajurit yang sehat. Saat ini suku Haka nyaris tidak memiliki semuanya. Kita sudah lama tidak menyiapkan bekal selain untuk musim dingin dan penduduk kita sedang terbaring sakit."

"Aku tetap berpendapat kita harus menyerang," ucap Kenan kukuh. Dia menatap Haken tanpa berkedip. "Mereka memiliki obat yang kita butuhkan dan kita melakukan kehendak dewa."

"Perang hanya akan merugikan," balas Haken membalas tatapan Kenan tanpa gentar walau dalam hati dia ingin lari dari sana. Namun ketika dia ingat Isla dan sukunya serta bagaimana bila gadis itu terjebak perang membuat Haken memandang Kenan tanpa berkedip. "Jika hanya ingin mendapatkan obat, kita bisa menggunakan jalan diplomasi."

Suasana kembali hening. Haken dan Kenan menolak untuk mundur dari pendapat mereka, hingga seorang tetua akhirnya angkat bicara.

"Sebagai teman yang telah menemani kepala suku sebelumnya memimpin dan mengambil keputusan," orang tua berambut putih itu berkata, "aku menyarankan saat ini kita semua beristirahat dan memikirkan langkah yang terbaik untuk seluruh suku."

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang