EPILOG

676 56 24
                                    

"Miss, aku pulang!" pamit seorang anak berusia enam tahun sambil melambai penuh semangat. "Sampai jumpa lusa!" Anak laki-laki itu berteriak sebelum berbalik dan berlari ke arah orang tuanya yang sudah menjemput. 

Isla membalas lambaian itu sambil tersenyum lembut, menatap muridnya disambut dengan pelukan hangat sebelum masuk ke dalam mobil. Dengan demikian, berakhir sudah kegiatannya untuk hari itu.

Sebagai instruktur renang untuk anak-anak, gadis itu menikmati pekerjaannya dengan sepenuh hati. Selain karena dia menyukai air, dia juga menyukai anak-anak. Melihat makhluk-makhluk mungil itu belajar dan mendengarkan tawa mereka membuat Isla ikut merasakan kebahagiaan. Senyum mereka menular. Bahkan membayangkannya saja sudah membuat bibir Isla melengkung naik.

Sambil memasukkan baju renangnya yang basah ke dalam kantong plastik, Isla memandangi kulitnya. Di Dunia Kedua tidak ada berkah dari bulan, dia kehilangan semua kemampuannya dalam mengendalikan air ataupun pendaran cahaya pada rambut dan kulitnya. Di sini, tidak ada berkah dari siapa pun, dia harus menggunakan tangan dan kakinya untuk bekerja. Tidak semua manusia yang ditemui sehebat Alex atau Illa, banyak dari mereka yang sama sekali tidak bisa menggerakkan alam. Dunia para dewa yang sama sekali berbeda dengan bayangannya.

Lima tahun berlalu sejak dia terakhir bertemu dengan Haken. Gadis itu berjalan keluar dari kolam renang umum tempatnya mengajar, menuju malam di kota Los Angeles yang masih hidup dengan para turis dan kemewahan bintang. Selama ini dia tinggal di apartemen milik Alex yang sudah direnovasi dan diperbaiki hingga lebih layak. Sebuah kemurahan yang diberikan oleh pemuda itu pada dirinya yang memutuskan untuk menunggu Haken.

Isla masih ingat kejadian hari itu, saat Alex kembali tanpa Haken di sisinya. Sang dewa yang tergesa tak berkata banyak.

"Dia akan kembali padamu," ucap pemuda itu sebelum menaiki mobil sedan berwarna hitam. "Haken bersumpah demi roh nenek moyangnya, tapi aku tidak tahu kapan. Apa kau akan menunggunya atau tidak, itu keputusanmu."

Isla memutuskan untuk menunggu sumpah yang tak kunjung ditepati.

Gadis itu memegangi dadanya yang terasa sesak. Bukan karena dia meragukannya, tapi dia takut, dirinya yang menjadi lemah dan menyerah. Lima tahun. Hari-hari yang terasa lebih panjang, hanya dihiasi oleh ingatan yang makin samar. Suara yang pudar, ingatan yang menipu. Isla takut, suatu ketika, kenangan akan Haken akan lenyap sepenuhnya dan dia melupakan pria itu lalu bergerak maju dengan hidupnya.

Isla masuk ke dalam Metro dan membiarkan kereta itu melaju, membawanya pergi melintasi kota. Dia keluar di stasiun dekat Griffith Park dan berjalan menuju monumen di Griffith Observatory. Perjalanan yang dilakukan seminggu tiga kali telah menjadi kebiasaannya. Awalnya, selama seminggu dia menunggu lama sekali di monumen berwarna putih tersebut, nyaris seharian. Namun Haken tak kunjung muncul. Seiring dengan waktu dan kesibukan yang meningkat, Isla tidak memiliki pilihan selain menahan diri. Alex memang memberinya uang untuk kebutuhan sehari-hari, tapi Isla tidak ingin menganggur. Alex menyempatkan diri di antara jadwal sibuknya untuk membantu untuk mencari pekerjaan. Isla membutuhkan sesuatu agar kegiatan menunggu tidak lagi terasa menyiksa.

Tidak terkatakan betapa besar bantuan Alex padanya. Pemuda itu benar-benar memenuhi janji pada Haken untuk menjaga Isla, walau dia sibuk menerapkan peraturan baru dan meyakinkan banyak orang bahwa itu yang terbaik. Alex mengajarinya segala sesuatu tentang bagaimana dunia ini berjalan. Kompleks, tapi Alex sampai menyewa orang untuk menemani Isla sampai dia terbiasa.

Selanjutnya, waktu berjalan dengan cepat begitu dirinya fokus pada pekerjaan. Mungkin suatu ketika, Haken akan muncul di depan pintu apartemennya.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, Isla akhirnya berdiri di tugu putih yang menjulang di antara padang rumput. Di belakangnya Griffith Observatory masih ramai dengan pengunjung. Jam di tangannya masih menunjukkan pukul tujuh malam. Tangan gadis itu menyentuh monumen sambil tersenyum. Dia menceritakan kesibukannya hari itu. Isla mendapati bahwa dengan melakukan hal sederhana itu, dia merasa tetap terkoneksi dengan Haken. Walau dia tahu, tidak mungkin Haken dapat mendengar suaranya.

"Kau ingat Jamie? Dia akhirnya bisa mengambang setelah sebulan belajar berenang." Isla memulai ceritanya. "Anak itu berteriak-teriak penuh semangat hingga tak lama kemudian dia kembali tenggelam." Sebuah tawa lolos dari mulutnya. "Tapi itu tetap perkembangan yang bagus. Kalau dia datang lagi, aku akan mengajarinya menggerakkan tangan dan kaki agar bisa berenang. Lalu Brenda, gadis kecil berambut ikal yang kuceritakan dua hari lalu, dia memutuskan untuk menjadi atlet renang. Aku senang dia menemukan hal yang ingin dia lakukan. Masih ada Caleb ...."

Kata demi kata meluncur dari mulut Isla. Dia menceritakannya dengan wajah semangat, membayangkan satu per satu wajah anak-anak yang ditemuinya. Namun, pada akhirnya semangat itu padam seiring dengan selesainya kisah hari itu. Ketika jam menunjukkan pukul 7.30 malam, Isla kehilangan kata-katanya. Dia hanya menatap tugu itu tanpa senyum. Dadanya kembali berdenyut dengan rindu. 

"Kapan kau akan datang?" tanyanya lirih. Dia melangkah maju lalu menempelkan dahinya ke tembok.

Hanya hening yang menyapanya. Satu hari lagi berakhir tanpa kedatangan Haken. Kekecewaan menjadi teman yang akrab baginya. Namun Isla tersenyum lemah sambil berdiri tegak. Dia menatap ke arah langit lalu menghela napas. Tangannya mengeluarkan tongkat berukiran rajawali di satu sisi dan burung penyanyi di sisi lain. Satu-satunya benda yang dia bawa dari dunianya selain baju yang melekat di badan.

Bukti janji Haken.

Isla mengecup ukiran rajawali dengan penuh kerinduan.

"Sampai jumpa," gumamnya sambil menempelkan benda itu ke tugu berwarna putih tersebut. Sebuah ritual tanpa arti agar Isla tetap kuat menunggu sambil memutar berulang kali suara Haken di benaknya.

"Isla ...."

Gadis itu mematung.

Suara itu, bukan halusinasinya kan?

"Aku kembali."

Perlahan, Isla menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Seketika mata gadis itu terbelalak. Untuk sesaat waktu seakan berhenti sebelum gadis itu berlari memeluk sosok di hadapannya dengan air mata dan sebuah senyum lebar.

END

END! KALI INI BENERAN END!!!AKHIRNYA KISAH YANG KUTULIS TAHUN LALU TAMAT!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

END! KALI INI BENERAN END!!!
AKHIRNYA KISAH YANG KUTULIS TAHUN LALU TAMAT!!!

Terima kasih buat kalian yang mengikuti kisah ini dari awal sampai akhir! Yes! Aku melihat kalian wahai enam orang yang selalu kasih bintang. Walau setiap harinya notifku bejibun dari cerita-ceritaku yang lebih populer, tapi vote kalian untuk cerita ini selalu menarik perhatianku!

Terima kasih sekali lagi sudah menemaniku hingga akhir!

Oh iya, ini novel Spin Off dari I'mmmortal Series, yang ingin tahu kisah Illa dan Lady Bedelzve bisa ke novelku Reminiscentiam yang sudah tamat ;)

Sebagai penutup aku mau meminta tolong sekali lagi bagi kalian para pembacaku yang setia, tolong jawab beberapa pertanyaan di bawah ini agar aku bisa merevisi kisah ini menjadi lebih baik.

1. Siapa tokoh favorit kalian? Mengapa?

2. Menurut kalian cerita ini bagaimana? Share kesan dan pesan kalian dong :D

3. Apa yang perlu diperbaiki dari kisah ini? Lebih banyak action? Lebih banyak momen uwu nya?

Gitu aja deh!

Sekali lagi thank youuuu~ Setelah ini aku akan melanjutkan kisah Nadia dan Sangkuriang! Sampai jumpa di kisah berikutnya!

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang