Chapter 11

328 72 6
                                    

Haken menghela napas dan memandang langit untuk mengukur waktu. Terdengar gemerisik dedaunan dan bunyi hewan di sekitar hutan. Agak sulit untuk menentukan kedudukan matahari di tengah pepohonan menghalangi pandangannya, tapi Haken dapat menduga masih ada dua putaran jam pasir hingga matahari terbenam. Pemuda itu memandang sekeliling dan tersenyum. Tempat itu adalah sebuah danau terbuka di tengah hutan. Sebuah tempat rahasia yang dia temukan, terletak di batas terluar hutan yang pernah dijelajahi oleh suku Haka. Haken berani bertaruh kalau hanya dia di antara seluruh sukunya yang tahu keberadaan tempat itu.

Suara berkecipak pelan dari air danau menemani saat-saat Haken duduk di atas batu besar yang terletak di pinggir danau. Lumut menggerogoti di bagian kaki batu yang bersentuhan dengan tanah tapi di puncaknya, batu itu berwarna hitam dengan sedikit bagian datar untuk duduk. Haken membelai tempat di sampingnya sambil tersenyum. Di situ biasanya Isla duduk dan menemaninya. Mereka saling bertukar kata dan impian, termasuk harapan untuk bersama setelah Haken menyelesaikan semua tanggung jawabnya sebagai ketua suku. Hati pemuda itu melembut seiring mengingat setiap kenangannya bersama Isla. Namun sebuah helaan napas berat muncul ketika dia mengingat betapa dunia ini memisahkan mereka.

Haken menatap tangannya yang besar dan kasar akibat latihannya sebagai seorang prajurit. Di punggung tangan kirinya bahkan memiliki bekas luka memanjang dari hasil berburu. Seekor hewan buas menorehkan luka itu ketika dia masih kecil. Sungguh berbeda dengan tangan Isla yang ramping dan halus. Haken menyadari perbedaan mereka yang begitu mencolok, tapi itu justru membuatnya makin terpesona dengan gadis suku Shui tersebut. Sebuah senyum kembali muncul di wajah yang terpahat tegas dengan bibir penuh dan mata hitam yang menatap tajam. 

Pemuda itu melompat turun dari batu dan berjalan berkeliling di antara pepohonan. Ketika dia menemukan sebuah ranting pohon berukuran sedang. Haken menakar kalau tangan Isla yang mungil tidak akan kesulitan untuk menggenggamnya. Sambil tersenyum membayangkan reaksi Isla akan hadiah yang akan dia berikan, Haken mengambil kapak dan memotong ranting tersebut. Setelah selesai, dia kembali ke atas batu dan mengeluarkan sebuah pisau dari tas kulit. Dengan cekatan, dia membersihkan kulit kayu yang kasar dan segera mencungkil.

Sebagai suku Haka, Haken sudah diajarkan mengukir kayu. Tak terhitung waktu-waktu yang dia habiskan untuk menekuni kerajinan yang satu itu. Semua anak sebelum berumur sepuluh tahun harus sudah membuat totem hewan pelindung pertamanya. Hewan pelindung Haken adalah seekor rajawali, menurut penglihatan Shaman, sebuah lambang dari kepala suku. Memang pada akhirnya dia bukan yang terbaik, tapi setidaknya cukup untuk membuatnya lolos dari pelajaran memahat dan bisa fokus pada hal yang lebih menarik perhatiannya seperti berburu dan mencari jejak.

Sinar matahari perlahan meredup seiring dengan berakhirnya perjalanan melintasi langit. Haken tidak terlalu memerhatikan hal tersebut karena fokus menyelesaikan karyanya. Dia memunculkan sebuah bola api yang mengambang pelan di sekitar ranting yang hampir selesai diukir. Sampai akhirnya matahari lenyap sepenuhnya dari angkasa. Kunang-kunang mulai bermunculan dengan cahaya kuning kehijauan dari rerumputan yang tumbuh di sekitar danau. Sesekali terdengar suara serangga malam. Haken tersenyum puas setelah mencungkil kayu terakhir dari bentukan di tangannya. Dia mengangkat benda sepanjang dua telapak tangannya dan mengamati hasil karya itu. Memang hasilnya tidak sebagus karya pengrajin kayu di desanya tapi Haken merasa itu adalah karyanya yang terbaik.

"Cantik sekali," ucap sebuah suara lembut yang familiar, membuat Haken menoleh. Seketika senyum pemuda itu melebar.

Isla telah duduk di sampingnya di atas batu sambil menyunggingkan senyum. Rambut perak kebiruan perempuan itu berpendar di tengah cahaya bulan. Sang penguasa malam sepertinya menyukai Isla dan senantiasa melimpahi gadis itu dengan cahayanya. Haken terdiam sesaat, menikmati saat untuk memandang Isla dengan lekat. Waktu seakan berhenti dan suara dunia lenyap seiring kedua tatapan mereka beradu. Masing-masing menjelajahi wajah kekasihnya dengan rindu, seiring dengan senyum terindah yang mereka sunggingkan untuk satu sama lain. Haken dapat merasakan rasa hangat memenuhi dadanya beriringan dengan gejolak aneh di perutnya, sebuah kebahagiaan yang mengembang tanpa bisa dibendung.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang