Pemuda itu berjalan melintasi hutan, mengikuti jalan setapak menuju perbukitan yang terletak di utara desa. Langkahnya tergesa, sementara napasnya terengah. Keinginan untuk tiba di tujuan begitu kuat mengalahkan panasnya terik matahari yang membakar punggung, mengalahkan rasa lelah, melepaskan rasa sesak yang mendesak kuat. Ingin sekali pemuda itu melampiaskan kekesalannya ke alam dengan menebang pohon atau menebas ilalang, tapi jalan setapak itu bersih karena sering dilalui penduduk. Mereka yang ingin melepas rindu dengan keluarga dan sahabat yang telah kembali menjadi roh, bergabung dengan para nenek moyang, melewati tempat itu dengan setia. Haken juga memiliki tujuan yang sama, tapi bukan untuk melipur rindu. Dengan perasaan berat, pemuda itu terus berjalan.
Akhirnya, setelah matahari berasa di puncak langit, Haken tiba di depan sebuah mulut goa dengan totem berbentuk rajawali di kedua sisinya. Cat di patung kayu tersebut pudar dan beberapa bagian terkelupas. Haken mencatat dalam hati untuk segera memperbaikinya. Ada sebuah batu penutup di depan goa yang hanya akan dibuka bila ada pemakaman. Namun di saat di mana hampir setiap hari ada yang meninggal karena wabah, batu itu tidak sepenuhnya terpasang agar lebih mudah dipindahkan. Haken masih dapat melihat sisa-sisa dari upacara pengantaran arwah kemarin. Jejak-jejak kaki, rumput yang terinjak, lilin setengah terbakar dan beberapa bulu burung. Lebih banyak dari yang pernah dia lihat seumur hidupnya, memberi tanda betapa banyak orang yang meninggal setiap hari. Dia berpacu melawan waktu dan kini adiknya juga terkena wabah mengerikan itu. Alasan yang membawanya berdiri di depan makam.
"Noshi," panggil Haken sebelum diam untuk menenangkan napasnya yang memburu. Dadanya naik turun seiring dengan udara yang dipompa keluar masuk, menuntut pemulihan energi tubuh. Mata hitam Haken mengamati sekeliling. Para pelayat sudah pulang, Haken memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Pelayat yang seharusnya tidak akan ada bila dia melakukan pekerjaannya dengan benar, atau bila ayahnya masih hidup.
"Kohen terkena wabah," ucap Haken pelan, singkat tapi terasa seperti kapak yang dijatuhkan untuk membelah kayu. Haken bahkan dapat mendengar suara harapannya terpotong di belakang kepalanya. "Shaman sudah memastikannya. Hidupnya tinggal beberapa hari lagi dan aku belum menemukan obatnya."
Haken mengangkat kepalanya, memandangi batu yang setengah terbuka. Dia pernah masuk ke dalam, saat ayahnya dimakamkan beberapa bulan silam. Bersama dengan iring-iringan para tetua, Haken melewati lorong-lorong berliku di dalamnya. Panjang dan gelap. Hanya cahaya dari obor yang menerangi jalan. Suasana begitu dingin dan sunyi. Tempat peristirahatan para ketua suku terletak di paling dalam goa, sementara tempat para penduduk lebih dekat dengan pintu masuk.
Sepanjang perjalanan, Haken dapat melihat totem berbagai binatang yang dianggap sebagai perwujudan para nenek moyang didirikan. Beberapa di depan jalur pemakaman layaknya penjaga, menghalangi roh-roh jahat yang mengganggu perjalanan arwah untuk kembali ke alam.
Rombongan berhenti ketika mereka mencapai bukaan luas. Di dalamnya berjejer tulang belulang dengan berbagai macam umur terbaring di bawah kulit binatang yang telah disamak dan berwarna-warni. Beberapa sudah koyak dan kehilangan warnanya, sementara yang lain masih dapat terlihat polanya. Haken melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana jenazah ayahnya yang tampak seperti tertidur diletakkan di atas lantai, beserta dengan tandu pengusungnya. Shaman, nenek dari Kenan membacakan doa yang terdengar seperti lagu, sebagai pengantarnya menuju alam lain. Para tetua mengulangi ucapan Shaman di beberapa bagian di antara bayang-bayang yang memanjang karena cahaya api. Saat Haken lebih kecil, dia mengira roh-roh jahat bersembunyi di antara bayang-bayang itu.
Ketika akhirnya tubuh ayahnya ditutupi oleh kulit binatang ternak berkualitas tinggi, Shaman menyelesaikan nyanyiannya, diiringi oleh bunyi dari tongkat yang dipukul ke tanah. Upacara sudah selesai. Satu per satu pelayat meninggalkan ruangan itu. Haken adalah yang terakhir keluar, hanya karena Kohen menarik tangannya dan membawanya kembali ke alam orang hidup. Tanpa berkata Haken berjalan dan sejak saat itu hidupnya tak lagi sama. Esok harinya dia diangkat menjadi kepala suku dan tepat tiga bulan setelahnya, wabah pertama muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dunia Kedua
Fantasy[Romance Fantasy] 15+ "Sanggupkah kau melawan semesta yang menentang kita?" Haken, ketua suku Haka berelemen api, bertemu dengan Isla, gadis dari suku Shui yang berelemen air. Legenda berkata, bencana besar akan terjadi ketika kedua suku bersatu...