Chapter 19

214 48 4
                                    

Illa tersenyum mendengar pertanyaan Alex. "Aku tidak tahu," akunya.

Alex memandang pamannya dengan tatapan tidak percaya. Selama ini Illa selalu tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengandalkan pamannya itu untuk nasihat, mengharapkan kebijaksaannya. "Tidak mungkin. Paman berbohong."

Pria itu mengangkat alisnya. "Kau berkata aku membohongimu?" Illa menahan senyum geli.

"Sorry," gumam Alex ketika sadar betapa kurang ajar ucapannya sebelum itu. Kata-katanya terlontar begitu saja tanpa dia sempat berpikir. "Aku hanya tidak percaya Paman tidak punya rencana."

"Kami punya rencana dan rencana kami adalah dirimu." Illa menepuk pundak Alex. "Kami mendidik seseorang yang akan meneruskan tugas kami. Namun, rencana kami juga melibatkan apakah kau bersedia mengambil tanggung jawab ini atau tidak. Pilihan itu tetap di tanganmu, aku dan Airlann tidak akan memaksa. Hanya saja, kau berhak tahu yang sebenarnya, karena itu aku memberitahumu."

Alex terdiam. Dia berhenti berjalan, memegangi sepedanya sambil menatap jalan di bawah kakinya. Ini bukan pertama kalinya Illa berkata demikian. Namun, di kondisi sekarang, perkataan itu membuat sebuah beban berat tiba-tiba saja turun di pundaknya. Dia adalah tumpuan dari orang yang paling dia hormati untuk melanjutkan tugasnya.

Jika dia kabur, dia akan mengecewakan Illa.

Jika dia kabur, apakah dia sanggup menanggung rasa bersalah bila komunitas sihir menjadi kacau? Bagaimana bila terjadi perang seperti Great War empat ribu tahun silam?

Napas Alex menjadi berat. Dia mencengkram dadanya dengan tangan kanan, merasakan sesak.

"Paman tidak bisa memberiku tanggung jawab sebesar ini!"

Illa hanya tersenyum lemah. "Aku harap aku bisa, tapi kami tidak memiliki pilihan lain. Aku tetap mendukung apa pun pilihanmu. Kau sudah kami anggap anak yang seharusnya tidak pernah kami punya. Kebahagiaanmu sama pentingnya dengan nasib dunia. Ambilah pilihanmu, kami percaya keputusanmu adalah yang terbaik, bahkan jika itu tidak memenuhi rencana yang telah kami susun."

Alex memandang Illa tajam. "Apa yang terjadi pada dunia sihir bila aku memilih pergi?"

Pria berambut hitam itu tidak langsung menjawab. Untuk sesaat dia menghirup napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangannya ke arah jalan yang kosong. "Saat ini terjadi banyak pertentangan di Dewan. Seperti yang kau tahu, ada fraksi yang ingin magus menguasai para non-magus. Ada pula fraksi yang menginginkan kerjasama antar dua pihak dan tentu saja ada pula yang ingin mempertahankan kemurnian Pakta dengan sama sekali tidak membuka kontak dengan manusia biasa."

Illa mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan, "Saat ini saja, sudah ada klan yang mengontak manusia untuk melakukan kerja sama."

Alex mengerutkan alisnya. "Klan Schuteß."

Pamannya mengangguk menyetujui. "Ya, mereka sudah berencana untuk menggabungkan sihir mereka dengan teknologi untuk menghasilkan sebuah pelindung yang tidak tertembus oleh misil dan sihir. Proyek yang ambisius, tapi aku tidak kaget mereka bisa mencapainya dalam beberapa tahun lagi."

Perkataan Illa membuat Alex makin gelisah. Dia menggenggam erat stang sepedanya.

"Nael, ayahmu, jelas berada di pihak yang ketiga dan saat ini sedang kesulitan untuk meredam gerakan dari dua fraksi lainnya. Kau selama ini yang melakukan pekerjaan ayahmu, juga dianggap sebagai pendukungnya. Itu adalah alasan mengapa terjadi penyerangan-penyerangan terhadapmu dan Sienna."

Ucapan terakhir Illa menusuk Alex. Sengatan rasa sakit kegagalan menghantam hatinya, membuat pemuda itu terpukul. Dia masih ingat kejadian itu sesegar kemarin. Alex menutup matanya rapat-rapat berusaha mengusir bayangan itu. Susah payah dia menyingkirkannya, tapi tidak bisa. Bagaimana pun juga semuanya bermuara pada hal itu.

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang