Chapter 6

508 94 29
                                    

Alex membuka mata dalam keadaan telungkup di atas tempat tidur. Terdengar bunyi alarm dari handphone-nya menjadi latar. Semakin lama semakin bising seiring dengan kesadarannya yang terkumpul. Butuh waktu sekitar semenit sebelum akhirnya pemuda itu mengangkat dirinya dari tempat tidur dan menggapai ponselnya di nakas. Dengan asal, Alex melemparkan  benda itu ke atas tempat tidur dan duduk, sebelum mengusap wajah dengan tangan. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum akhirnya dia berakhir di ranjang.

Hal terakhir yang Alex lakukan adalah melukis. Dia mengingat, dia membiarkan tangannya bergerak tanpa berpikir sampai akhirnya kelelahan menguasainya. Setelah itu, dia bergerak menuju ranjang. Benar juga. Alex kembali mengusap wajahnya. Dia dapat mencium bau cat menguar dari tubuhnya. Sambil menghela napas, dia mengangkat kepala dan memandangi hasil lukisannya. Seketika itu juga jantungnya seakan berhenti berdetak.

Lukisan di hadapannya sudah hampir selesai. Sebuah gambaran semi abstrak yang membentuk bayang-bayang hutan, danau dan sepasang manusia. Yang membuat Alex terkejut adalah lukisan itu sama persis dengan mimpinya. Dia melukis dalam keadaan tertidur. Belum pernah hal seperti ini terjadi sebelumnya. Pemuda itu mengerutkan alis. Mimpi yang dia alami semakin terasa nyata. Satu hal yang dia sadari adalah, mimpinya saling menyambung dalam urutan terbalik. Seberapa mungkin hal itu terjadi secara kedokteran? Alex tidak ingin mencari tahu di mesin pencarian. Yang pasti mimpinya kini sudah masuk ke kategori perlu diperhatikan.

Pemuda itu menghela napas sebelum berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Cuaca di Los Angeles pelan-pelan bergerak menuju musim gugur, tidak terlalu panas lagi tapi Alex perluharus membuang bau cat dari tubuhnya. Dia perlu segera menghubungi Illa untuk memberi tahu kelanjutan dari mimpi anehnya.

Lima belas menit kemudian, Alex sudah berganti pakaian menjadi kaos berwarna hijau neon yang akan dia pakai untuk bersepeda menuju tempat kerja. Dia membuka jendela sambil menikmati sereal, membiarkan udara berbau cat keluar. Tangan kirinya sibuk mengetik pesan kepada Illa. Dia lebih suka menelpon tapi di lain sisi dia tahu tidak baik mengganggu mentornya. Setelah tombol terkirim ditekan, Alex kembali menghabiskan sisa sarapan.

Tepat pada saat dia berjalan menuju pintu, ponselnya berdering. Wajah Alex langsung semringah. Namun ketika dia melihat nama yang terpampang di sana, seketika itu pula senyumnya luntur.

"Halo," sapanya sambil mengambil kunci sepeda dan apartemen.

"Bagaimana kabarmu?" balas suara seorang wanita dari ujung sambungan.

Alex mengembuskan napas kesal. "Baik. Ada apa kau menelepon?"

"Hanya menanyakan kabarmu."

Alex diam dan kesunyian menggantung di antara mereka. Dia malas berbasa-basi, apalagi dia tahu apa tujuan lawan bicaranya menelpon.

"Jadi, ada apa, Sienna?" tanya Alex sekali lagi setelah bosan menunggu detik-detik yang terbuang. "Jika hanya itu, aku akan menutup telepon sekarang."

"Tunggu!" Suara perempuan itu terdengar lagi. "Ayah memintaku untuk membujukmu pulang."

Alex langsung memutar bola matanya. "Sudah kuduga."

"Ayah mengkhawatirkanmu."

"Dia mengkhawatirkan kelanjutan posisinya," sergah Alex, membatalkan niatnya untuk keluar. Dia tidak mungkin membawa pertengkaran keluarga ke tempat umum.

"Dia mengkhawatirkan dunia." Sienna berusaha menjelaskan. "Kau tidak tahu betapa besar dampaknya bila tidak ada yang meneruskan posisinya."

"Aku tahu." Alex mengacak rambut. "Masalahnya, aku tidak mau! Aku tidak mau menjadi boneka! Aku ingin mengejar apa yang menjadi cita-citaku dan menjadi diriku yang sebenarnya."

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang