Chapter 32

165 41 2
                                    

"Apa keputusanmu?" tanya Alex tidak sabar. Dia dapat merasakan detik demi detik meleleh dari persediaan waktunya. 

Dalam hati dia khawatir, ayahnya akan tetap memaksa mempertahankan Pakta bahkan bila Sienna dalam bahaya. 

Haken menurunkan bongkahan kayu yang dipegangnya. Keraguan membayangi mata hitam itu, sementara Isla memegangi lengan atas Haken. Gerakan sederhana itu membuat Haken menoleh ke arahnya. Isla menggeleng pelan dengan pandangan memohon. Haken kembali bimbang. Alex mengamati mereka sambil menahan emosi.

"Kita sudah tiba sejauh ini," gumam Isla. Air mata menggenang di matanya. "Akhirnya kita bisa bersama di Dunia Kedua."

Alex menghela napas panjang. Waktunya tidak banyak, dia harus menemukan cara untuk mencegah rencana klan Schuteβ dan Fuoco terjadi. Namun, dia tidak bisa menutup mata terhadap keberadaan Haken dan Isla. Dia melihat kristal yang ditinggalkan Illa untuknya.

Ada alasan mengapa pamannya memberikan benda itu padanya. Alex mendesah. Ini mungkin permintaan terakhir Illa padanya. Pamannya jarang sekali mengutarakan apa yang dia mau dan membiarkan Alex melakukan apa yang menurutnya benar, tapi selama bertahun-tahun hidup dengan pria itu membuat Alex dapat mengira-ngira apa yang diinginkan Illa. Pemberian kristal itu adalah petunjuknya. Illa tidak akan memberikan itu jika dia tidak ingin Alex membantu Haken.

Hatinya terasa berat jika memikirkan itu, jika memang Haken tidak mau pergi, dia sendiri yang akan membereskan masalah lalu segera kembali dan melakukan penerbangan ke London, ke tanah keluarganya, tempat pertemuan terjadi. Semuanya harus cepat atau dia akan kehilangan kesempatan.

Masih ada waktu walau tidak banyak.

"Aku pergi."

Alex mengangkat kepalanya ke arah Haken ketika mendengar pemuda itu berbicara. Haken sudah berdiri tegak menatap penuh keyakinan sementara Isla menutup mulutnya dengan tangan, membungkam isak. Hati Alex terasa dipelintir melihat Isla menangis, mengingatkannya pada Sienna. 

"Aku akan kembali dan menyelesaikan tanggung jawabku." Haken menoleh ke arah Isla, menyentuh pipi gadis itu lembut. Matanya meredup. "Aku tidak bisa tinggal di sini dengan pikiran bahwa suku dan keluargaku terancam bahaya."

Isla membalas tatapan Haken selama beberapa detik, sebelum mengangguk pasrah.

Tatapan Haken kembali terpancang pada Alex. "Sejak awal aku bertekad menyelesaikan tanggung jawab sebagai kepala suku sebelum aku mengejar kebahagiaanku sendiri. Sebagai seorang pria dari suku Haka, aku memegang sumpah hingga akhir walau itu berarti harus mempertaruhkan nyawa."

Sebuah senyum kecil muncul di wajah Alex. Perkataan Haken membuat sesuatu dalam dirinya bergema. Tanggung jawab. Sumpah. Alex menghela napas lalu mengembuskannya perlahan sembari melepas sihir dimensi yang dia pasang. Dimulai dari bagian terjauh dari Alex, benda-benda kembali pada bentuknya semula. Distorsi menyusut seakan terhisap kembali ke dalam tubuh Alex hingga kamar apartemennya kembali normal. Kerusakan yang ada hanyalah yang terjadi sebelum mantra diaktifkan. Itu saja sudah parah. Pintu hancur, dinding dan lantai retak terkena lemparan batu.

Napas Alex tidak beraturan sementara keringat mengucur deras. Dia merasakan tenaganya terhisap keluar hanya dengan menggunakan sebagian dari sihir dimensi. Tubuhnya terasa lemas, tapi ini bukan saat yang tepat untuk menunjukkan kelemahan. Dia menarik napas panjang dan menguatkan dirinya untuk terus fokus.

Alex mengecek keadaan di luar kamar, sekaligus melihat akibat dari perangkapnya. Dengan mempertimbangkan tempatnya menginap yang berada di tengah kota, di mana non magus tinggal begitu dekat, Alex memilih memasang perangkap yang tidak terlalu merusak, lebih banyak menggunakan sihir teleportasi untuk mengirim mereka entah ke mana. Namun, bahkan dengan pertimbangan itu, ketika seluruhnya diaktifkan sekaligus, keadaan tetap kacau. 

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang