Chapter 24

150 41 1
                                    

Mata Haken langsung terbelalak kaget. "Benarkah?!" tanyanya sekali lagi karena tidak mempercayai pendengarannya. 

Bagaimana mungkin obat yang selama ini dia cari bisa disodorkan di hadapannya begitu saja?

Isla mengangguk sambil tersenyum. "Ya, penyakit tidur, begitu guruku menyebutnya. Beberapa tahun lalu, suku kami terkena wabah itu hingga nyaris sepertiga penduduk kami tertular. Puluhan orang meninggal dan para tabib berlomba mencari penawarnya." Isla menatap ke arah tanah di hadapannya, gugup dipandang lekat oleh Haken. "TIdak ada yang tahu bagaimana penyakit itu bisa menyebar begitu cepat. Namun, guru punya dugaan kalau ada serbuk sari bunga di dalam hutan Ta'ae yang menyebabkannya. Serbuk itu terbawa angin hingga ke tempat kami, dan kini ke tempatmu."

Haken masih kehilangan kata-katanya. Untuk pertama kali dalam beberapa bulan ini, sebuah harapan muncul di dalam benaknya. Adiknya, bahkan seluruh desa bisa disembuhkan.

"Bisakah kau memberikanku obat itu?" Haken beringsut maju, sebelum rasa sakit membuatnya kembali bersandar pada pohon. Serigala-serigala itu benar-benar membuat Haken tidak berdaya. Dia harus lebih berhati-hati jika harus bepergian terlalu jauh ke dalam hutan apalagi sendirian di waktu malam.

Isla mengangguk lagi membuat harapan makin membuncah di dada Haken. "Penyembuhnya dibuat oleh guru dari kelopak bunga Shemian, tanaman yang hanya tumbuh di dekat air asin dekat laut. Bunga dan batangnya ditumbuk hingga halus lalu dicampur air dan diminumkan ke penderita."

Mata Haken berbinar. "Aku membutuhkannya, sebanyak yang aku bisa."

Kali ini, kepala gadis itu tertunduk. Helai-helai rambut peraknya berjatuhan menutupi wajahnya. Ingin sekali Haken menyingkirkannya untuk dapat melihat wajah Isla lebih lama. Namun, pemuda itu menahan diri, dia ingat kalau ada kemungkinan Isla sudah bersuami.

Memikirkan kemungkinan itu saja membuat hati Haken terpelintir sedih. Sejenak pemuda itu tertegun.

Mengapa dia harus merasa sedih, kecuali, dia ingin menjadikan Isla istrinya.

Menyadari hal itu membuat Haken menahan napas. Tidak mungkin. Dia baru saja bertemu dengan gadis itu, mana mungkin dia bisa memutuskan hal sepenting itu hanya dengan bercakap-cakap singkat dengan gadis yang sudah menolongnya. Namun tetap saja, Haken tidak bisa memungkiri betapa dirinya ingin terus bersama dengan Isla.

"Aku tidak yakin itu bisa ...," ucap Isla membuat Haken keluar dari kepalanya dan membuatnya sadar ada masalah yang lebih penting. Nyawa adiknya sedang dalam bahaya.

"Mengapa?" tanya Haken, berusaha menyingkirkan pikiran untuk menikahi Isla keluar dari kepala. Sulit. Bayangan itu terus berulang kali muncul dalam benaknya.

"Tanaman itu dijaga ketat oleh penduduk, sama seperti tanaman-tanaman obat lain." Isla menatap Haken dengan mata birunya. Di bawah matahari, mata itu sebening air sungai yang memantulkan cahaya, berkilau. Jantung Haken berdetak kencang. Pikiran lancang itu datang lagi, seandainya saja dia dapat memandangi mata biru itu seumur hidupnya.

"Sama seperti sebuah tanaman bisa menjadi obat, tanaman tersebut juga bisa menjadi racun. Karena itu, penggunaan tanaman obat diatur ketat oleh para tabib. Hanya bisa diambil secukupnya dengan alasan yang kuat."

Semangat Haken padam secepat dibangkitkan.

"Apa tidak ada cara lain?" tanya pemuda itu, merasakan keputusasaan menggerogoti benak.

"Aku ... bisa mengambilnya sedikit. Setangkai. Hanya untuk dosis satu orang." Isla tampak tidak yakin. Dia kembali menatap tanah. Tangan kanannya memegang lengan kirinya, memeluk dirinya sendiri.

Haken merasa tidak nyaman melihat gestur itu. "Apakah itu berbahaya bagimu?"

Isla tidak langsung menjawab. Dia terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Aku bisa mengaku mengambil bahan obat yang rutin kupakai dan aku akan mengambil bunga itu. Kalau hanya satu tangkai, tidak akan ketahuan 'kan?"

[END] Dunia KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang