Part 14 : Coincidence

298 61 7
                                    



"Merajut sebuah kepercayaan yang sudah retak, bagai menyatukan kepingan cermin yang sudah pecah. Mustahil untuk kembali sempurna." – Mars





[Venus POV]





Aku masih duduk di halte sendirian. Pikiranku sejak tadi tak pernah lepas dari apa yang aku lihat di gedung tua itu, apa sebenarnya yang Mars lakukan di sana? Apa gerangan yang membuatnya sampai rela menyia-nyiakan waktu berharganya hanya untuk mencari uang? Aku tahu betul, Mars bukan tipikal orang yang akan menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang baginya tidak begitu penting. Lagipula untuk apa ia mencari uang? Apa harta orang tuanya masih tak cukup?



Terlalu larut memikirkan Mars, aku tak sadar waktu berjalan cepat seiring dengan suara hujan yang semakin deras. Aku melihat layar besar yang terletak di seberang jalan, jarum panjang menunjukkan angka 11 sedang jarum pendek menunjuk angka 47. Astaga, betapa terkejutnya aku, apa yang sudah kulakukan, seharusnya aku sudah naik bus sejak 2 jam yang lalu, kini bus terakhir sudah tidak beroperasi. Bagaimana aku bisa pulang? Ini sudah sangat larut, tidak ada bus, angkot apalagi. Ditambah dengan hujan sederas ini, bahkan untuk sekedar menyeberang saja rasanya akan susah sekali.


Setelah kupikirkan matang-matang, tampaknya memang tak ada harapan. Aku hanya bisa pasrah, berharap akan ada seorang malaikat tak bersayap yang akan membantuku.


Karena terlalu mengantuk, badanku mulai oleng. Baru saja aku hendak merebahkan badanku, tiba-tiba suara mobil membangunkanku. Mataku belum bisa terbuka sepenuhnya, samar-samar kudengar suara sebuah mobil berhenti tepat di depanku diikuti suara pintu mobil yang ditutup. Setelah mengumpulkan kesadaran penuh, aku mencoba bangun dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.


"Ven? Venus?" panggil seorang lelaki jangkung yang belum bisa kulihat dengan jelas wajahnya itu.

"Hah?" jawabku setengah sadar.

"Lo ngapain di sini?" tanyanya lagi. Aku mencoba menyapu keadaan sekitar, lengang, hujan juga sudah reda, dan kini seorang lelaki tampan tengah berdiri tepat di hadapanku.

"K...Kenn?" ucapku ragu.

"Lo belum pulang?" tanyanya dengan mata menerawang heran karena dijam seperti ini aku masih menggunakan seragam sekolah. Terlebih lagi aku berada di halte ini sendirian.


Bangun dan merapihkan rokku, aku mencoba menjawab pertanyaan Kenn. "Gue tadi ketiduran," balasku sembari menggaruk tengkuk yang tak gatal. Aku memeluk badanku mencoba menghangatkan diri, malam ini benar-benar dingin.


Tiba-tiba Kenn melepas jaketnya dan menyelampirkannya di badanku. Sepertinya ia tahu aku kedinginan.

"Ya udah kalo gitu gue anterin lo pulang ya," tanya Kenn retoris. Tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung mengambil tas dan menarik lenganku menuju mobilnya. Aku yang memang sedang butuh tumpangan tanpa ragu langsung naik ke mobil sport yang tampak sangat mahal itu.

[END] - Inner BeautyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang