Halo!💓
Happy reading!✨
---
"Axel, kamu ikut makan malam disini, ya."
Key meraih lengan Axel, menatap pemuda itu dengan tatapan serupa anak kecil yang sedang memohon untuk dibelikan mainan oleh orang tuanya.
Axel tersenyum. Cowok punya senyum yang manis. Dingin yang selalu terlihat di wajah pemuda itu bisa hilang begitu saja ketika kedua sudut bibirnya terangkat dan membentuk sebuah senyum. "If you insist."
Sebuah tawa riang lolos dari bibir Key. Gadis itu menarik Axel untuk duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan, meminta cowok itu untuk tetap duduk disana sampai ia selesai menyiapkan makan malam.
"Gimana Pelita? Pasti asik banget, ya? Lo mendadak jadi bahan omongan loh pas anak-anak pada tau lo pindah ke Pelita." Axel berceletuk. Matanya memerhatikan Key memasak sambil bertopang dagu menggunakan tangan kanannya.
Key menghembuskan nafas pelan. "Asik, kok."
Axel mengerutkan keningnya ketika ia mendapati suara Key yang tidak seceria tadi. "Lo tau lo nggak bisa membohongi gue, Key. Is something wrong?"
Hampir semuanya. Key ingin menjawab begitu. Key tidak tahu pasti sudah berapa lama ia resmi bersekolah di Pelita, namun rasanya cukup lama untuk membuat ia sadar, sampai kapanpun, Pelita bukanlah tempatnya.
Sekolahnya yang lama mungkin tidak sebagus dan sehebat Pelita. Kantinnya tidak sebersih dan semewah milik Pelita. Kelas-kelasnya tidak seperti milik Pelita yang tidak pernah absen di bersihkan cleaning service sekolah setiap sore walaupun sudah ada giliran piket di setiap kelas. Namun disana, Key merasa ia adalah potongan puzzle yang tepat. Tidak tersisihkan seperti sekarang. Tidak pernah ada yang memandangnya kecil seperti sekarang, terutama karena ia sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang berada di kelas unggulan seperti teman-teman kelasnya yang lain.
"Enggak ada apa-apa, kok. Kamu taulah, SMA elit kayak Pelita pasti beda banget sama SMA kita yang lama. Aku cuma butuh waktu untuk beradaptasi aja."
Axel mengangguk setuju, karena ia juga sudah sering mendengar bagaimana SMA Pelita yang selalu menjadi bahan pembicaraan—dalam artian yang haik tentunya—setiap kali ada pertandingan antar sekolah. Dan mengingat Axel adalah anggota tim futsal sekolah, ia jadi cukup sering mendengar tentang SMA Pelita yang selalu memenangkan hampir setiap perlombaan itu.
"Adin nanyain lo tuh, katanya lo jadi susah dihubungin semenjak pindah."
Radine, salah satu teman lama Key di SMA-nya yang lama. Namun untuk orang-orang yang sudah lama mengenal Radine seperti Axel dan Key, mereka akan lebih sering menyapa gadis itu dengan sebutan 'Adin'.
Ada senyum di bibir Key yang tak tertangkap oleh netra Axel karena gadis itu berdiri membelakanginya. "Terus kamu jawab apa?"
Tanpa perlu berbalik, Key sudah bisa membayangkan wajah jenaka Axel saat menjawab, "Gue bilang aja, 'lo tau sendirilah teman kita itu udah jadi anak Pelita, SMA paling elit di Jakarta, gimana nggak sibuk. Kita mah udah nggak selevel sama dia'."
Key berbalik, memelototi Axel yang kini tawanya sudah pecah. "Dih, sembarangan. Bukan kayak gitu, tau."
Tawa Axel perlahan mereda, namun masih ada jejak senyum di wajahnya. "Terus kenapa? Gue tau lo sengaja menghindari dia, juga gue. Lo jarang banget angkat telfon gue sekarang."
Ekspresi Key berubah. Ada sebentuk rasa sedih di wajahnya, membuat senyum yang semula bermain di wajah Axel perlahan memudar lalu hilang begitu saja. "Maaf. Aku hanya... Takut. Kalau sampai aku terlalu sering berhubungan sama kalian, aku malah semakin pengen pulang ke rumah. Sedangkan kamu tau sendiri aku nggak bisa—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna [Completed]
Teen Fiction[BAHASA] an unfilled space or interval; a gap. *** Di suatu sore, ketika Saga baru saja tiba di rumah sepulangnya dari sekolah, ia dibuat bingung oleh kardus-kardus yang berada di ruang tamu rumahnya. Keterkejutan itu berlanjut saat Bunda muncul beb...