Ketika Kolonel selesai melakukan inspeksi, dia berdiri sambil bersandar di dinding benteng dan memandang panorama yang indah. Tiba-tiba suara titih terdengar. Titih adalah lonceng kematian bagi orang Dayak. Suara itu ditimbulkan oleh serangkaian pukulan pada empat baskom logam dengan ukuran berbeda. Pukulan lonceng pertama dilakukan jika ada yang meninggal; pukulan kedua ketika mayat dimasukkan ke dalam keranda; pukulan ketiga ketika mayat dibawa ke kuburan, dan pukulan perpisahan dilakukan ketika kuburan ditutup. Titih dipukul bertalu-talu selama upacara penguburan berlangsung, tetapi kadang- kadang ada jeda empat atau lima menit di antara suara-suara itu, seperti bunyi lonceng kematian pada umumnya. Pukulan lonceng kematian itu mula-mula lembut tetapi kemudian diselingi suara keras tiap dua menit, dan gema suara ting, ting, tong sepanjang sungai-sungai besar Kalimantan terdengar sangat memilukan dan menimbulkan rasa duka.
Kolonel memasang kedua telinganya baik-baik ke arah suara lonceng pertama dan mencoba mengingat apakah ada seseorang yang telah mati di kampung; tetapi pikirannya segera kembali tertuju pada para desertir. Ketika suara titih ditabuh bertalu-talu tanpa ada jeda, ia tahu pemakaman sedang berlangsung, dan ini menimbulkan rasa penasaran. Bukan karena orang Dayak jarang menguburkan mayat pada malam hari, tetapi karena Kolonel baru-baru ini meminta penduduk pribumi untuk tidak melakukan pemakaman pada malam hari selama masa perang, kecuali jika memang tidak dapat dihindarkan. Permintaan itu atau lebih tepat perintah, selama ini dipatuhi, tetapi sekarang ini sangat aneh!
"Aha! Saya tahu," katanya dalam hati, "saya tahu. Temenggung memberitahu saya kemarin ada dua korban kolera. Salah seorang korban barangkali sudah meninggal. Mereka benar untuk segera menyingkirkan mayat tanpa ditunda-tunda."
Tidak berapa lama kemudian dua sampan terlihat turun mudik dari arah kampung, berhiaskan kain kasar dan diterangi obor. Ketika sampan-sampan itu mendekat, nyanyian pujian para balian (Pendeta atau penari perempuan Dayak) dapat dibeda-bedakan, diiringi genderang-genderang kecil yang suaranya tertahan. Nyanyian duka mereka terdengar melintas sungai.
"Terbanglah jiwa yang terpisah, melayang di atas awan. Terbanglah jiwa yang meninggal, mengambang di atas air."
Semua sesuai aturan yang lazim. Nyanyian dan pukulan genderang berasal dari sampan pertama. Segera diikuti dengan sampan lain di belakang yang berisi keranda. Untuk menjaga keadaan darurat, Kolonel memanggil para penjaga dan menempatkan mereka di kubu di mana ia berada. Ia juga memerintahkan seorang bintara untuk mengawasi sampan-sampan yang mendekat dan menggandakan penjagaan.
Seruannya, "Siapa itu?" dijawab dan perintahnya untuk mendarat dipatuhi.
Kolonel memeriksa sampan pertama, menyapa para bilian dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ia juga tidak menemukan sesuatu yang aneh di sampan kedua. Bau khas korban kolera memaksa dia mempersingkat pemeriksaan. Sampan- sampan meninggalkan dermaga dan segera benteng itu berada di belakang. Kolonel mengikuti sampan-sampan itu dengan matanya selama beberapa lama dan hanyut dalam lamunan ketika tiba-tiba satu kepala terlihat nongol dari bawah atap sampan kedua dan terdengar teriakan:
"Enfoncez les Hollandes les tetes de fromage!" (Dorong, Belanda goblok kepala keju !)
Kolonel tersentak sadar atas peristiwa yang terjadi para desertir itu bersembunyi di dalam iringan pemakaman. Ia berteriak keras ke arah para pengayuh.
"Berhenti! Kembali! Kembali cepat!"
Terdengar lagi ejekan menghina; kali ini diikuti dengan satu tembakan yang melukai seorang serdadu Jawa.
Kolonel memerintahkan meriam empat inci diarahkan ke sampan-sampan itu, membidiknya sendiri pada elevasi yang tepat dan menembak. Tetapi malam terlalu gelap dan tidak ada sasaran yang tepat. Tembakan itu menghantam air di bagian belakang sampan kedua, memantul dan menembus atap sampan pertama dan ketika jatuh ke air timbul riak besar sehingga hampir membalikkan kedua sampan itu. Tembakan meriam itu diikuti dengan tembakan senapan dari arah benteng dan menewaskan dua orang pengayuh sampan. Akan tetapi arus menyeret kedua sampan itu dengan cepat dan sebelum para serdadu sempat mengisi kembali peluru mereka, kedua sampan itu lenyap dalam gulita malam.
"Tembakan itu telah mengenai mereka," kata dokter, yang telah meninggalkan tempat tidurnya untuk melihat penyebab kegaduhan. "Saya mendengar jeritan khas dari sampan-sampan itu."
"Ya," jawab Kolonel, "tembakan itu telah mengenai mereka, tapi itu hanya bagian awal permainan. Saya seharusnya tidak membiarkan diri berlama-lama berbicara dengan Temenggung dan menunda pengejaran sampai besok. Apa yang baru saja terjadi seharusnya bisa dicegah. Sudahkah Anda memeriksa luka serdadu Truno Semito?"
"Sudah, hanya lecet saja."
"Baiklah, mari kita istirahat. Saya tahu persis ke arah mana para desertir itu pergi. Pagi-pagi sekali kita akan mulai mengadakan pengejaran."
Kedua orang itu bersalaman dan segera kesunyian menguasai benteng itu diselingi langkah-langkah penjaga seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Fiksi SejarahKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...