PARABAH

287 16 0
                                    

Sejak keberangkatan mereka dari kota Jangkan, negeri itu menjadi semakin tidak datar dan mereka telah mendekati suatu rangkaian bukit, di antaranya tempat Sungai Kapuas mencari jalan ke muara. Kini mereka melihat gunung- gemunung menjulang di utara dan barat laut, yang puncak-puncaknya terlihat dari kejauhan. Yohanes menunjukkan kepada teman- temannya bahwa mereka harus menembus gunung-gemunung itu untuk mencapai Laut Cina. Tetapi ia menambahkan: "Kita baru mulai melihat lereng-lerengnya bagian selatan saja. Hanya Tuhan yang tahu kapan kita bisa menuruni sisi lainnya."

Mereka mendayung dengan seluruh tenaga sampai sekitar jam tiga sore ketika Amai Kotong memberi tanda untuk berhenti. Kini mereka tiba di seberang muara Sungai Samuhing, yang mereka masuki setelah berdiskusi singkat. Yohanes bertanya kepada Harimau Bukit alasan untuk berhenti, karena mereka masih punya waktu tiga jam penuh dan dengan tiga jam itu mereka kiranya sudah tiba di Tumbang Rungoi.

Tanpa menjawab, orang Punan itu menunjuk ke arah langit di utara yang dengan cepat berubah jadi gelap, tanda hujan akan turun disertai badai, petir, dan guruh. Dalim memberitahu orang-orang Eropa itu bahwa soho atau banjir bandang menurut sebutan orang Melayu, kadang-kadang sangat berbahaya, karena air tiba-tiba naik dan mengalir dengan deras tanpa dapat ditahan. Rangkan yang terperangkap dalam soho akan hanyut dan menghadapi bahaya tenggelam dalam pusaran air atau terbentur karang-karang kiham.

Segera setelah memasuki muara Sungai Samuhing, mereka mendarat dan menarik rangkan-rangkan sejauh mungkin ke daratan agar berada di luar jangkauan banjir. Mereka masih sibuk melakukan pekerjaan ini ketika suara gemuruh di kejauhan terdengar semakin lama semakin dekat. Orang-orang Eropa sangat yakin bahwa itu adalah suara guruh, keyakinan yang diperkuat dengan semakin gelapnya langit dan mulai jatuhnya butir-butir hujan yang besar. Tetapi Dalim menggamit para desertir itu dan bersama-sama mereka mendaki bukit yang memisahkan Sungai Kapuas dengan Sungai Samuhing. Di situ mereka melihat pemandangan sungai yang luar biasa secara menyeluruh.

Ketenangan merajai di mana-mana, tidak ada selembar daunpun bergerak, tidak satu helai rumputpun bergoyang, tidak seekor burungpun berkicau, juga tidak seekor ngengatpun terbang. Awan seolah ditekan ke bumi kuat-kuat sehingga menimbulkan hawa panas yang tidak nyaman, suatu perasaan depresi hingga seluruh jagat seolah-olah tampak tegang. Tidak ada suara yang terdengar kecuali suara gemuruh dari kejauhan, yang semakin lama semakin dekat.

"Lihat! Lihat!" teriak Schlickeisen, seraya menunjuk bagian atas sungai dengan keheranan bercampur cemas.

Dari tempat itu suara gemuruh bergerak maju beserta dinding air setinggi 12 sampai 15 kaki, seolah hendak menggulung segala sesuatu. Sambil menyapu dan menggulung semua yang menghalanginya, banjir itu bergerak cepat, berbuih, dan menggelegak seperti dilepaskan dari perut gunung berapi. Akibat air yang tidak dapat dibendung ini, karang-karang mengerang seperti direnggut dari dasarnya, pohon-pohon tercerabut dan dibawa hanyut, massa batu-batu besar di tepi-tepi sungai dilepaskan dari pelukan tanah dan jatuh ke sungai, mengambang sesaat oleh kekuatan air yang luarbiasa dan cepat. Dinding air itu hanya tampak sesaat. Ketika melewati para pengembara, dinding air itu sudah tinggal bayangan, tetapi permukaan sungai telah naik sampai kira-kira 15 kaki dan terus saja naik, sehingga di tempat yang beberapa waktu sebelumnya air sungai yang jernih mengalir di atas pasir dan kerikil putih, kini tidak satupun yang tersisa kecuali massa air keruh kuning yang menderu dan menggelegak.

Orang-orang Eropa menyaksikan fenomena ini dengan terpana, tetapi sebelum air yang bergerak cepat itu lenyap seluruhnya dari pandangan, perhatian mereka dialihkan oleh badai yang tiba-tiba menyembur dengan segala kebesarannya. Mula-mula muncul kilasan kilat menyilaukan, yang dengan cepat disusul dengan gelegar guntur yang menjadi awal ledakan-ledakan petir yang sambung-menyambung dari segala penjuru cakrawala. Pada waktu yang sama angin berembus kencang, mencabut pohon-pohon dan menimbulkan kerusakan di berbagai tempat.

DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang