Pada akhir hari kedua, para pengembara tiba di kaki Bukit Dusun. Esok paginya Harimau Bukit bermaksud mendaki bukit itu untuk melihat beberapa petunjuk yang akan menjadi pedoman perjalanan selanjutnya.
Kedua orang Swiss, bekas pendaki fanatik pegunungan Alpen, tidak puas ditinggalkan di belakang dan mendesak untuk ikut mendaki. La Cueille dan Yohanes juga memohon diizinkan ikut dalam kelompok itu. Maka diputuskan seluruh rombongan ikut serta dalam perjalanan pendakian itu.
Perjalanan berlangsung pagi berikutnya. Mula-mula mereka berjalan melalui hutan bambu bercampur dengan rotan dan tumbuhan merambat lainnya, yang menutupi pohon-pohon yang tinggi dan membentuk jejaring tidak tertembus sehingga sangat menghambat perjalanan. Tetapi semakin tinggi mereka mendaki, semakin jarang tanaman-tanaman itu sampai akhirnya hilang sama sekali.
Sekitar setengah sepuluh siang para petualang tiba di puncak bukit yang memiliki lengkungan cukup lebar, puncak utama dataran tinggi di tengah-tengah Kalimantan. Mereka istirahat di sini beberapa jam. Sementara Harimau melakukan pengamatan, Hamadu, dibantu oleh beberapa orang Punan, menyiapkan makanan sederhana. Sisa rombongan terpencar di puncak mencari rayoh, sejenis lumut indah yang ditemukan di dataran tinggi dan amat dihargai oleh orang Dayak.
Orang-orang Eropa terkesima dengan pemandangan yang terbentang di hadapan mereka, mereka memandang panorama dengan terpesona dan mata mereka menikmati tumbuhan tropis yang menakjubkan dari tempat mereka berada.
Selagi sebagian besar rombongan diselimuti kekaguman, Yohanes tampak membuat catatan di buku-sakunya.
"Sudah 70 hari sejak kita meninggalkan Kuala Kapuas," katanya.
"Apakah sudah selama itu?" La Cueille menimpali.
"Coba kulihat. Kita tinggalkan benteng tanggal 10 Januari, kan?"
"Ya, dan hari ini tanggal 21 Maret, tepat 70 hari."
"Tanggal 21 Maret ?!" kata Wienersdorf, kaget pada tanggal itu. "Jadi matahari memasuki Aries hari ini dan tepat di atas khatulistiwa. Tunggu, aku akan segera mengetahui pada garis lintang berapa kita sekarang ini."
Wienersdorf memotong sebatang pohon cedar yang lurus dengan panjang sekitar 10 yard, membersihkan semua rantingnya dan menancapkannya tegak lurus di atas tanah lembut berumput. Ia kemudian mengambil kompasnya dan memeriksa bayangan pendek tongkat itu, yang akan menunjukkan arah timur dan barat.
"Kesalahan mustahil terjadi di garis lintang ini," kata orang Swiss itu sambil mengira-ngira. "Tapi... itu dapat terjadi secara kebetulan. Barangkali ada daya tarik lokal yang membuat jarumnya menyimpang. Akan segera kulihat."
"Apa yang sedang kamu gumamkan?"
"Diam!" jawab ketus orang Swiss itu sambil terus mengamati bayangan tongkat. Bayangan itu semakin berkurang dan akhirnya hilang samasekali. Untuk sementara tidak ada bayangan yang terlihat.
"Tengah hari!" teriak Wienersdorf. "Aku dengan senang hati mengucapkan selamat padamu, Tuan-tuan, kita berada di ekuator. Garis lintang 0 derajat Khatulistiwa !!!"
Schlickeisen mendekat untuk melihat dan benar saja, tidak ada bayangan yang dapat dilihat. Dengan demikian Bukit Dusun berada tepat di garis ekuator.
"Jadi aku sekarang sedang duduk di atas ekuator?" tanya La Cueille.
"Ya, sobatku. Kamu mendapatkan hak istimewa itu."
"Wah, alangkah senangnya jika kita di laut! Dewa Neptunus akan datang berkunjung ke kapal untuk mengucapkan selamat pada kita dan akan ada jamuan minum untuk semua."
"Dan begitu juga di sini. Kita akan mengucapkan selamat tinggal kepada bumi bagian selatan dengan hati gembira," kata Yohanes, yang sambil melompat mengeluarkan dari salah satu keranjang dua botol jenewer, yang kemudian ditawarkan kepada anggota rombongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...