Ketika semua pengembara terbangun esok paginya dan halimun telah diusir cahaya matahari pertama, pemandangan yang luar biasa terpampang di hadapan mereka. Lereng gunung bagian selatan yang mereka daki sehari sebelumnya tertutup pohon-pohon yang menjulang. Puncak yang telah mereka daki terbungkus beraneka jenis tumbuhan tropis yang luarbiasa kaya di daerah ketinggian. Tetapi ketika mereka mendekati ujung lereng bagian utara, tampak semua tumbuhan yang beraneka jenis itu seolah mendadak dipisahkan dengan alam yang paling liar dan fantastis.
Liar adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan negeri di mana mereka telah sampai. Di sekeliling, bertumpukan batu-batu raksasa yang berbahaya untuk ditembus. Walaupun demikian, melewati penghalang-penghalang ini, mereka menemukan lorong-lorong dan jalan-jalan sempit rendah yang hampir tidak memberikan tempat untuk berjalan tegak. Menganga lebar di sekitar mereka ngarai curam berbahaya dan jurang yang tidak terkira dalamnya, di mana aliran sungai dari gunung bergemuruh seperti guntur meskipun mata tidak dapat melihat karena dalamnya. Di tempat-tempat lain bebatuan menjulang hampir tegak lurus seakan-akan mengancam jiwa dan raga mereka yang lewat.
Namun di tengah kekacau-balauan yang dibentuk oleh kekuatan alam yang luar biasa ini para pengembara kadang-kadang bertemu dengan wahah-wahah hijau, lereng-lereng datar yang dimahkotai rerumputan pendek dan indah di mana tumbuh pohon-pohon cedar, membentuk gambaran indah yang mengingatkan orang-orang Swiss itu pada hutan di pegunungan Alpen dengan pohon cemara dan pinus.
Ketika memasuki salah satu wahah itu, para petualang melihat satu jeram kecil yang meluncur dari satu jurang terdekat. Dengan kegembiraan yang tak terkira orang-orang Swiss itu memandang biru-hitamnya batu diorit yang ujung-ujungnya berhadapan dengan birunya langit yang lembut. Mereka amati air deras yang terjun itu seakan jubah berkibar yang dialirkan oleh peri air di permukaan yang luas.
Sungai Undup, nama sungai itu, ditahan alirannya oleh massa bebatuan, menerjunkan airnya dari ketinggian kira-kira 400 kaki. Dinaungi warna biru kehijauan dengan indah, cabang utamanya mencapai dasar lembah melalui dinding gunung yang tegak lurus bak sungai kristal, tetapi di tengah jalan arusnya ditahan oleh massa batu yang menjorok sehingga meluncur dengan suara Guntur, kemudian membentur dan menjadi buih. Arus itu mengalir deras ke bawah, ke arah lembah seperti pita putih-susu, bersinar seperti perak. Cabang-cabang lain Sungai Undup dengan liar memisahkan diri dengan tebing jurang, air deras dengan cepat berhadapan dengan dininding-dinding batu yang curam dan puncak-puncak bebatuan di mana air itu bertahan sementara, kemudian mereka pecah menjadi jutaan gelembung yang bersinar seperti api di bawah sinar matahari tropis dan lenyap untuk selama-lamanya.
Keempat kawanan dan Hamadu berjalan sedekat mungkin dengan air terjun itu, seakan-akan dituntun oleh naluri untuk memilih titik pengamatan di mana mereka dapat melihat bianglala di sekitar yang terbentuk dari hasil pantulan sinar matahari. Mereka semakin dekat dan masing-masing dikitari pelangi ganda. Ketika mereka berada di tempat yang paling dekat, tampak pelangi itu seolah bergerak maju-mundur bersama mereka dan mengikuti setiap pergantian posisi mereka. Rambut, kulit, dan pakaian mereka tertutup oleh ribuan partikel air, tiap butir seperti berlian, bersinar cemerlang dengan warna prismatik tiada bandingannya.
"Indah sekali! Luarbiasa!" seru si istri. "Apakah pemandangan seperti ini ada di negerimu?"
"Ini tak diragukan lagi luarbiasa indah," jawab suaminya; "tapi Tanah Swiss dapat juga menyombongkan air-air terjunnya. Kami punya Rhinefel di Laufen, Staubbach di lembah Lauterbrunnen, dan Giesbach di dekat Danau Brienz."
"Tempat orang-orang kulit putih membanggakan diri dengan lukisan air terjun. Bukankah begitu?" ucap Yohanes bergurau.
"Apa maksudmu dengan lukisan?"
"Aku membaca entah di mana bahwa alam di negerimu sangat miskin dan memerlukan kembang api untuk membuat jeram- jerammu menarik."
"Ya, mereka memang menerangi Giesbach. Dan kapan saja kamu datang ke Eropa, jika kamu berada di Tanah Swiss, pergilah ke jeram itu dan membayar enam frank untuk melihatnya pada malam hari."

KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...