PESTA BLAKO ONTONG

253 15 1
                                    

Malam berlalu tanpa gangguan, tidak ada tindakan permusuhan yang dicoba oleh pihak manapun.

Tetapi di dalam benteng, setelah para pengawal ditempatkan, pesta Dayak benar-benar dilangsungkan. Pesta blako ontong dirayakan untuk mohon restu menjelang perkawinan si cantik Hamadu dengan Dohong alias Wienersdorf. Harimau Bukit, yang amat mencintai adik perempuannya, menetapkan bahwa perayaan peristiwa itu akan diingat sepanjang masa di kalangan penduduk kota Jangkan.

Segera setelah bulan memandikan bumi dengan cahaya keperakan yang lembut, calon pengantin perempuan diantar dari kediamannya oleh pengiring kehormatan yang terdiri atas tujuh orang gadis muda, yang seperti calon pengantin perempuan hanya berpakaian saloi atau sarung pendek. Tujuh orang prajurit Punan berpakaian lengkap juga mengiringkan Wienersdorf dari tempatnya. Pasangan calon pengantin lalu dituntun ke dalam satu bangsal luas yang dibuat sedemikian rupa sehingga mereka masuk bersamaan dari arah pintu yang berlawanan. Segera setelah mereka tampil di bawah atap bangsal itu, para bilian mulai memukul gendang dan menyanyikan himne untuk menghormati calon pengantin perempuan dan laki-laki yang tengah dituntun ke tengah-tengah ruangan. Hamadu kini menyerahkan kepada calon suaminya sebilah mandau sebagai tanda tuntutan perlindungan lewat keberanian calon sang suami. Kemudian mereka duduk, masing-masing di atas selembar tikar rotan yang dihias indah. Tempat duduk mereka diatur sedemikian rupa sehingga ada ruang yang luas di tengah-tengah bangsal di mana para bilian mengambil tempat dan memulai upacara.

Dua himne dinyanyikan, yang dimaksudkan untuk mengusir segala malapetaka. Setelah nyanyian selesai, semua yang hadir termasuk calon pengantin perempuan, mengambil tongkat besar dan dengan dipimpin oleh para bilian mereka memukul keras-keras tonggak- tonggak, tiang-tiang, dinding-dinding, dan atap bangsal. Semua rumah dan bangunan lain di dalam kota mendapat giliran didatangi dan upacara yang sama diulangi untuk mengusir hantu-hantu dan roh-roh. Suaranya bisa dibayangkan, sangat memekakkan.

Peran yang dimainkan oleh si Walloon, La Cueille, penyamar Syekh, sangat lucu. Ia memegang cabang satu pohon dan memukul- mukul seperti orang gila, membuat kegaduhan lebih daripada yang dilakukan oleh 25 orang yang lain. Tingkahnya itu menggelikan orang- orang Dayak yang melihat bagaimana seorang suci begitu sibuk. Pengamat yang teliti akan melihat betapa La Cueille bertingkah khusus di samping seorang gadis pengiring kehormatan, sambil memukul-mukul cabang pohon itu, memainkan peran sopan dan mencoba menarik perhatian gadis itu. Ia begitu sibuk ketika tiba-tiba meriam-meriam di dalam kota meletuskan tembakan yang dahsyat. Syekh itu hampir mati ketakutan, berjungkir-balik, meloncat lagi diikuti derai tawa orang-orang Dayak dan lari ke arah tempat pengintaian. Sebagai seorang artileris utama benteng itu, pikirnya, kehadirannya barangkah diperlukan. Di situ baru ia tahu apa yang telah terjadi. Itu hanya ulah Dalim, yang menembakkan peluru kosong untuk turut mengusir roh-roh jahat. Menurut kepercayaan takhayul yang kuat, roh-roh jahat tidak tahan terhadap suara dan sangat membenci bau mesiu dan akan mencari tempat yang aman untuk berlindung segera setelah mereka menciumnya.

Kegembiraan belum reda ketika Syekh muncul kembali di dalam bangsal, di mana kedua calon pengantin telah menempati kembali tempat duduk mereka masing-masing, dikelilingi oleh para pengawal kehormatan masing-masing.

Kini para bilian menempatkan di atas selembar tikar yang ada di tengah-tengah bangsal semua sesaji yang dipersembahkan untuk para dewata, yang terdiri atas tujuh ekor ayam dewasa, sebutir telur, tujuh bungkus daun pisang penuh berisi nasi, tujuh ruas bambu yang diisi beras, tujuh batang tebu masing-masing satu depa, di samping bubur, gula, dan buah-buahan. Para bilian menyalakan api di dua kayu damar yang masih hijau sehingga mengeluarkan asap tebal. Setelah selesai dengan semua persiapan ini, mereka mengucapkan mantra, yang isi pokoknya mendorong Raja Antang (Enggang) membawa jiwa sesaji-sesaji itu, karena orang Dayak percaya semua benda punya jiwa, kepada Raja Ontong. Selama pembacaan mantra ini berlangsung, anak-anak muda berkumpul di sekeliling api dan di situ mereka sibuk meniupkan anak sumpit-anak sumpit beripuh dengan sumpit-sumpit mereka ke tengah-tengah kepulan asap yang membubung untuk mencegah roh-roh kotor dan jahat kembali.

Tamu-tamu lain, laki-laki maupun perempuan, membentuk lingkaran besar di sekeliling satu tonggak yang dipancangkan di bagian utara bangsal di mana seekor kerbau ditambatkan. Di sini, sambil saling berpegangan pada ujung-ujung jari, mereka bergerak maju-mundur beberapa langkah bergantian, kemudian menunduk serendah lutut mereka, dan kemudian meloncat lagi sambil mengeluarkan pekikan yang menakutkan. Ini merupakan tarian adat yang disebut bigal.

Ketika tarian ini sudah berlangsung sekitar sejam, kerbau itu akhirnya dibunuh dengan tikaman-tikaman tombak. Daging yang masih berdenyut- denyut dikuliti oleh beberapa perempuan tua, segera dipanggang dan disajikan kepada tamu-tamu di sekitar, yang langsung melahapnya dengan tangan telanjang. Sisa-sisa darah kerbau dibalurkan ke dahi, dada, dan tangan calon pengantin perempuan dan laki-laki. Selanjutnya para bilian menempatkan di depan masing-masing calon pengantin pengikat perkawinan berupa sepotong rotan dengan panjang sekitar delapan inci, ditutup dengan lapisan tepung beras campur serbuk emas. Kemudian mereka mengambil setempurung penuh tuak, lalu direguk dan digilirkan kepada calon pengantin, dan kedua calon pengantin mereguknya, lalu digilirkan ke sekeliling di antara mereka yang hadir untuk kegembiraan bersama.

Orang Dayak, laki-laki maupun perempuan, sebagaimana biasa adalah peminum yang kuat. Karena semangkok besar tuak telah dihabiskan dan minuman yang enak itu disediakan secara berlimpah, kegembiraan mereka yang gaduh pun segera mencapai puncaknya. Tetapi Yohanes, bersama Schlickeisen, Amai Kotong, dan Dalim, tetap menahan diri untuk tidak larut dalam kegembiraan pesta itu. Demikianlah, setelah minum untuk keselamatan pasangan muda itu mereka berhenti mengambil cairan yang menggoda itu.

Syekh Mohamad Al Mansur duduk bersila di atas tikar kecilnya sambil menonton acara riang itu dengan wajah sedih. Bau tuak benar- benar mengganggu saraf penciumannya dan dengan pandangan sinis dia mengamati adegan hiruk-pikuk itu. Ia bertahan dengan peran alimnya, meskipun itu bertolak belakang dengan watak asli Walloonnya, ia telah berjanji untuk tidak mengotori penyamaran keturunan Nabi dan janjinya itu akan dia tepati. Akan dia tunjukkan kepada teman-temannya bahwa dia juga dapat berkorban jika diperlukan demi kemaslahatan bersama. Ketika sedang duduk putus asa demikian tiba-tiba sebentuk wajah kecil manis membungkuk dari arah punggungnya dan mengiming-imingi semangkuk tuak di bawah hidungnya. Dia meloncat dan mencoba menangkap penggodanya, tetapi secepat kilat wajah kecil manis menghindar.

"Orang Islam tidak boleh minum tuak," teriak orang itu meledek dari kejauhan.

"Persetan dengan akibat-akibatnya," teriak si Walloon, seraya melepaskan sorban dari kepalanya dan membuangnya ke bangsal.

Si Walloon mengejar gadis itu dan dalam beberapa saat telah memeluknya dengan lemah-lembut. Ia mengambil mangkuk dari tangan si gadis dan mengosongkannya dalam sekali tengggak.

Sorakan gembira pun pecah dan ketika orang Arab tidak bersorban itu melihat ke sekitar, dia sadar sedang dikelilingi oleh tamu-tamu yang dengan gembira dan wajah tersenyum memberikan ucapan selamat atas pilihannya.

Tengah malam telah tiba dan segera setelah bulan mencapai zenitnya, para bilian mengambil potongan-potongan rotan yang diletakkan untuk Dohong dan Hamadu, menyingkirkan tepung, mengukur tongkat-tongkat rotan dan menyatakan bahwa kedua tongkat itu telah memanjang, suatu pertanda baik. Tepung itu sekarang diamati. Serbuk emas dipisahkan dari tepung dengan cara mencucinya, dan dengan hati-hati ditimbang. Ternyata bobot serbuk emas itu lebih berat daripada sebelumnya. Karena itu kegembiraan tak lagi berbatas. Bertambahnya bobot serbuk emas itu membuktikan bahwa pembacaan mantra oleh para bilian telah diterima dengan senang hati. Yang mahakuasa Raja Balawang Bulau telah menjanjikan bantuannya, dan pasangan tunangan itu dapat tenang karena perkawinan mereka akan bahagia dan makmur. Keduanya disuruh menyimpan rotan masing-masing, karena dengan rotan itu nasib mereka di bumi telah terungkap. Kepala Suku Punan membayar jasa para bilian dengan jumlah yang pantas, dan upacara blako ontong pun usai sudah.

Tetapi pesta sebenarnya terus berlanjut, tuak dan manisan disuguhkan ke sekeliling dengan berlimpah setelah upacara keagamaan, dan kegembiraan berlangsung sepanjang malam.

DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang