Keesokan harinya perjalanan diteruskan. Jumlah lelaki yang dapat menggunakan senjata kini bertambah menjadi 72 orang. Yohanes mengatur orang-orangnya, memimpin 10 orang di antara mereka yang memegang senapan sebagai pengawal depan. Kemudian menyusul enam rangkan, masing-masing didorong oleh sembilan pasang lengan yang kokoh menggelinding diatas kayu bulat. Di belakangnya menyusul para perempuan dan anak-anak, dilindungi oleh delapan orang bersenjata-api sebagai pengawal belakang.
Mula-mula perjalanan rombongan itu agak cepat. Tetapi ketika lereng-lereng semakin terjal dan berbukit- bukit maka perjalanan pun semakin sulit, apalagi di bawah terik matahari yang menyengat. Ada saat-saat mereka terpaksa istirahat untuk mengambil napas. Lebih buruk lagi, muncul serangga-serangga seperti kumbang, semut, dan segala macam gangguan yang harus dilawan. Semua orang benar-benar kehabisan tenaga.
Pada tengah hari setelah mendaki satu puncak bukit yang tinggi, yang karena kecuramannya telah menguras habis tenaga para petualang itu, Harimau memberitahu bahwa kesulitan terbesar telah berakhir. Tetapi tidak seorangpun terbujuk untuk bergerak lebih lanjut, mereka benar-benar memerlukan istirahat. Karena itu mereka putuskan untuk mencari tempat berlindung di suatu hutan kecil yang ada di atas bukit dan bermalam di situ. Tetapi sebelum mereka dapat istirahat, Yohanes memerintahkan enam rangkan disusun dalam formasi heksagonal, yang membentuk ruang cukup luas untuk seluruh rombongan. Ia juga menyuruh menebang kayu-kayu muda untuk menutupi sudut-sudut palisade buatan ini sebagai barikade yang akan sulit ditembus.
Para perempuan sibuk menyiapkan makan malam, dirangsang oleh nafsu makan para laki-laki dan tuan mereka. Tetapi ketika mereka mau mencuci dan memasak beras, bahan pokok makanan orang Dayak, air kurang. Tidak seorangpun memikirkan ini. Sejak mereka meninggalkan Sungai Mantarat, tidak satupun sungai kecil atau mata air yang dijumpai. Mereka sudah dalam keadaan putus asa ketika beberapa orang Dayak dan Punan, bertindak mengikuti naluri menembus hutan dan keluar lagi dengan membawa sejumlah potong akar yang mengandung air murni. Harta karun yang tidak ternilai ini disambut dengan sorakan gembira, karena semua orang kehausan dan ingin menyegarkan diri dengan seteguk air segar. Tetapi jumlahnya tidak cukup untuk memasak air. Mereka terpaksa puas dengan beberapa ikan kering, dan selebihnya mereka harus lebih mengencangkan ikat pinggang agar dapat mengendalikan rasa lapar. Hanya sedikit wajah cerah yang tampak. Anak-anak merengek-rengek minta makanan dan menyerukan betapa mereka lapar.
Dalim, sebagai penggali batubara di Pengaron dan Kalangan yang lumayan berpengalaman, mengambil mandaunya dan menghilang ke dalam hutan terdekat. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa bingkisan besar yang dibungkus daun-daun. Setelah kembali masuk ke dalam lingkaran ia duduk bersila, menggelar beberapa lembar daun di depannya, membuka bingkisan itu dan tampaklah benda berwarna abu-abu gelap kotor mirip tanah liat untuk pipa.
Ketika Harimau Bukit melihat itu, ia berseru:
"Ramon petak kinan !" (tanah yang dapat dimakan) dan duduk di dekat Dalim dia mulai memakan bagiannya. Keduanya tampak menikmati makanan aneh itu dengan lauk ikan kering. Kemudian mereka memanggil anak-anak dan membagi-bagikan kepada mereka masing-masing seiris besar untuk meredakan rasa lapar. Orang-orang Punan, belajar dari Dalim bagaimana ia mendapatkan makanannya, cepat-cepat masuk hutan dan segera kembali membawa persediaan untuk seluruh rombongan.
Kedua orang Swiss dan si Walloon melihat makanan aneh ini dengan rasa curiga, tetapi setelah mereka melihat Yohanes mengambilnya juga dan mendengar bahwa itu adalah jenis tanah yang dapat dimakan, rasa lapar mendorong mereka untuk mencoba. Meskipun sama sekali tidak sedap dimakan, hambar, tetapi tidak bisa dianggap menjijikkan. Beberapa butir garam dan percikan merica membantu penelanan. Tetapi mereka tidak dapat memakan tanah itu banyak-banyak karena sukar dicerna.
Selesai makanan dibersihkan, orang-orang Eropa itu mengobrol tentang keindahan pulau itu yang tanahnya bisa dimakan. Wienersdorf yang terpelajar, sambil memegang sepotong tanah itu, memecah obrolan dengan penjelasan:
![](https://img.wattpad.com/cover/189770342-288-k612557.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Fiksi SejarahKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...