Sampai tengah hari mereka hanya dapat bergerak beberapa mil saja, tetapi mereka merasa sudah sangat letih sehingga terpaksa istirahat. Air juga terlalu dangkal karena pasang surut, sehingga sampan seolah terperangkap di dalam lumpur. Tidak ada yang dapat menggerakkan sampan, sehingga mereka terpaksa menunggu pasang naik berikutnya.
Menggunakan kesempatan istirahat yang terpaksa itu, mereka menyiapkan makan malam. Dalam masakan ini orang-orang Dayak membawa sumbangan yang disambut gembira dengan menangkap beberapa ekor ikan bapuyu yang berasal dari dasar sungai setengah kering itu. Bentuk dan ukuran bapuyu mirip perch, hanya bedanya ikan ini tidak punya sirip punggung. Ikan ini punya kebiasaan berenang bergerombol dalam jumlah besar di sepanjang daerah banjir. Jika terperangkap dalam pasang surut, mereka masih seakan-akan dituntun oleh naluri untuk mencari jalan melalui lumpur ke genangan air terdekat. Dengan demikian acapkali mereka bersama-sama berada di luar air selama berhari-hari, dan merupakan pemandangan yang menarik menyaksikan ratusan ikan bergulat dalam lumpur ke arah tertentu dan tetap menempuh perjalanan meskipun kesulitan menghadang.
Selesai makan, orang-orang Dayak itu pergi mengumpulkan rotan untuk berjaga-jaga seandainya diperlukan dalam perjalanan. Mereka potong satu jenis rotan beberapa dengan panjang tigapuluh atau empatpuluh yard, menggulungnya dengan hati-hati dan menyimpannya di antara perbekalan untuk digunakan sebagai tali.
Dari jenis rotan yang lain, yang di Eropa digunakan untuk kursi dan mebel, mereka potong dengan panjang seperti umumnya, membuang kelopak durinya dan mengikatnya dalam ikatan-ikatan berisi seratus potong tiap ikat. Rotan ini harus direndam di sungai agar tidak cepat busuk; tetapi karena waktu begitu berharga, mereka harus puas dengan rotan kasar yang lentur dan menunggu waktu untuk memoles perbekalan mereka itu jika diperlukan.
Selagi orang-orang Dayak itu sibuk dengan rotannya, yang lain istirahat untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga untuk memulai perjalanan lagi. Akan tetapi, biarpun tubuh mereka istirahat, mulut mereka tidak pernah diam, terus saja membicarakan dan mengatur rencana. Yohanes terus-menerus mengingatkan rekan-rekan sepetualangannya akan pentingnya kewaspadaan.
"Ingat," katanya, "jika Kolonel mendapatkan informasi mengenai kehadiran kita di sekitar sini, ia akan memburu kita. Ya, biar saja ia menemukan jejak kita dan dialah satu-satunya orang yang akan menyusul. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang sanggup mencegahnya berbuat demikian. Perlu kuceritakan pada kalian beberapa kelicikannya. Pernah kalian dengar tentang penangkapan Daso dan Duta? Itu adalah bagian sejarah Kuala Kapuas."
"Aku pernah dengar itu," kata Schlickeisen, "tapi aku tidak tahu ceritanya. Siapa mereka?"
"Dengarkan," lanjut Yohanes, "akan aku ceritakan pada kalian." "Daso dan Duta adalah orang-orang Dayak dari Pulau Petak dan punya keluarga di sana dan di Kuala Kapuas. Aku yakin Dalim kita ini adalah saudara tiri Daso. Kedua orang itu, dan tiga orang Dayak yang menemani kita sekarang, bekerja di tambang batubara di Kalangan sewaktu waktu pecah pemberontakan. Daso dan Duta beserta tiga teman kita ini, kelima-limanya punya andil dalam pembantaian orang-orang Eropa."
"Sial, kamu telah memperkenalkan kami kepada teman-teman yang bernar-benar pilihan," sela Schlickeisen. "Bisakah kita memercayai orang-orang ini?"
"Aku yakin kalian dapat memercayai mereka lebih daripada yang bisa kalian harapkan dari pribumi lain. Mereka ingin sekali sampai di Singapura dan memerlukan bantuan kita untuk ke sana. Mereka akan berguna sekali bagi kita dan akan melayani kita dengan baik. Kehadiran mereka di di antara kita akan menjamin keamanan kita dari pengkhianatan Dayak manapun terhadap muka-muka pucat."
"Sejauh ini baik-baik saja; tapi seandainya mereka sendiri yang mengkhianati kita?"
"Itu tidak mungkin terjadi, berdasarkan catatan masa lalu mereka dan rencana mereka sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historická literaturaKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...