Pada dini hari di hari ketiga setelah acara perkawinan, perjalanan dilanjutkan. Rombongan itu terdiri atas Tuan dan Nyonya Wienersdorf, ketiga orang Eropa lainnya. Dalim dan teman-temannya dari Kuala Kapuas, serta Harimau Bukit, memegang teguh janjinya, yang bersama dengan beberapa orang pengikutnya akan menemani rombongan itu sampai mereka lepas dari marabahaya. Untuk menampung mereka, sebuah rangkan besar disiapkan, diawaki oleh 40 orang Punan. Mereka pertama-tama akan bertindak sebagai pengayuh dan kemudian sebagai pengangkut barang.
Didorong oleh begitu banyak pengayuh, rangkan itu, meskipun memuat banyak orang, melaju cepat ke arah utara. Selama kota masih terlihat para penumpang rangkan bergantian meneriakkan seruan "hura" dengan keras kepada teman-teman yang ditinggalkan, yang kemudian melepaskan salvo dari enam pucuk meriam yang telah dipasang di kubu- kubu kota oleh La Cueille. Tembakan penghormatan itu dimaksudkan sebagai kenangan pada masa lalu yang menyenangkan dan juga bukti kemahiran para artileris kepada instruktur mereka yang baru saja berpisah. Namun si Walloon tampaknya tidak puas.
"Yang terbaik meriam kedua," katanya, "orang itu tentu mengerti lebih baik. Yang nomor empat tidak hati-hati menutup moncongnya. Suatu saat pasti akan terjadi kecelakaan".
Sambil berdiri di rangkan si Walloon akan meneriaki orang-orang yang menembakkan meriam-meriam itu, tetapi tiba-tiba rangkan melesat di kelokan sungai sehingga kota lenyap dari pandangan.
Pelayaran dilanjutkan dengan menghulu Sungai Miri yang akan dilayari selama dua hari lagi, dan setelah itu sungai akan berubah dangkal sehingga pelayaran harus ditinggalkan. Ketika malam tiba pada hari kedua, mereka mendarat dan mendirikan kemah, menyiapkan segala sesuatu untuk melanjutkan perjalanan darat esok harinya.
"Apakah kita tidak akan bersua dengan orang-orang Ot?" tanya Schlickeisen. "Bukankah kita berada di wilayah mereka?"
"Mari kita berharap tidak menerima kunjungan mereka. Bersua dengan mereka berarti berkelahi untuk hidup," kata Harimau.
"Tapi yakinlah," lanjutnya, "mereka telah melihat kita dan kita masih terus diawasi. Tapi mereka tahu siapa saya dan kita tidak pernah berselisih dengan mereka."
"Namun kita tetap harus berjaga-jaga," pikir Yohanes. Karena itu ia membagi rombongan menjadi dua kelompok untuk bergilir jaga sepanjang malam. Akan tetapi jam-jam berlalu tanpa gangguan, dan pada dini hari orang-orang Punan memikul keranjang-keranjang mereka yang berisi makanan dan amunisi. Keempat orang Eropa juga membawa keranjang, beban yang tidak asing bagi mereka karena terbiasa membawa ransel. Selain berisi peluru, keranjang-keranjang itu berisi serbuk emas dan batu guliga.
Hamadu mengurus sendiri keranjangnya karena takut perhiasan-perhiasan kecilnya akan hilang, tetapi ketika diangkatnya ia dapati keranjang itu kosong. Wienersdorf telah mengeluarkan dan memasukkan isi keranjang Hamadu ke kekeranjangnya. Hamadu protes tetapi segera terdiam dengan satu ciuman, dan setelah itu dengan sabar ia mengalah.
Orang-orang Eropa dengan gembira memegang tongkat-jalan mereka yang berisi serbuk emas, menyandang senapan dan dengan gagah melangkah. Beberapa orang Punan melabuhkan rangkan pada satu anak sungai kecil dan meninggalkannya di situ tanpa khawatir atas keamanannya.
"Apa kamu akan menemukan lagi rangkan itu ketika kembali nanti?" Wienersdorf menanyakan iparnya.
"Tentu saja. Pencurian tak dikenal di sini. Satu-satunya benda yang harus kujaga adalah kepalaku."
Orang Swiss segera mengetahui bahwa arah mereka adalah hamparan gunung yang berdiri megah yang tampak di barat laut. Mereka tahu, setelah bertanya, bahwa gunung itu adalah Bukit Dusun. Itu bukan rangkaian gunung, melainkan lebih sebagai dataran yang meninggi dan membentuk sejumlah puncak, dan menempatkan dataran tinggi tersebut sebagai pusat negeri.
Jalan _jika jalan setapak yang dibentuk oleh kaki manusia di antara tumbuhan yang beragam itu dapat disebut jalan_ tidak sulit. Jalan itu naik-turun di antara bukit- bukit yang menanjak dan mereka perlu mengerahkan tenaga jika jalan itu terpotong anak sungai yang mengalir deras melalui lembah-lembah kecil dengan tanah lempungnya.
Di anak-anak sungai umumnya mereka menggunakan kesempatan untuk mandi di air yang bening, suatu bentuk penyegaran yang tidak susah dan tidak menghambat perjalanan para pengembara yang berpakaian minim itu. Selama membersihkan diri, penjagaan cermat terus dilakukan. Sebagian orang mandi, sementara yang lain berjaga dengan senapan di tangan. Walaupun demikian tidak tampak sesuatu yang mencurigakan dan tidak satu manusiapun yang tampak.
Mereka hampir dapat membayangkan diri berada di sebuah pulau yang telah ditinggalkan penghuninya. Tetapi selama di salah satu tempat istirahat ini para pengembara punya alasan bahwa mereka diawasi.
Lalu tiba-tiba sebatang kayu besi besar yang berdekatan dengan tempat istirahat mereka telah menarik perhatian Wienersdorf. Ia mendekati dan memandang pohon raksasa itu, yang menjulang dengan angkuh seperti tiang yang menegakkan mahkota dedaunan yang lebat setinggi 150 kaki ke angkasa. Sepasang persegi yang terbentuk dari garis vertikal dan horizontal yang ditakik pada batang pohon itu membuat ia berpendapat bahwa kulit kayu itu telah ditoreh oleh tangan manusia. Ia juga memerhatikan bahwa kulit kayu di bagian ini lebih muda daripada kulit kayu sekitarnya. Ia berdiri di situ sambil memandang agak lama, dan setelah mencabut pisaunya ia torehkan sepotong huruf W besar, inisial namanya di tengah-tengah salah satu persegi itu sambil bermaksud menambahkan inisial nama Hamadu dan keduanya akan dilingkari dengan gambar hati.
Selagi melakukan pekerjaan usil itu, suara siulan yang terdengar telah menyebabkan ia melihat ke sekeliling dan seketika itu pula ia melihat satu anak sumpit menancap di antara kepala dan tangannya. Dengan sigap ia membalik, memasang senapan dan melepaskan tembakan ke arah semak-belukar di belakangnya, karena ia merasa ada sesuatu yang bergerak. Semua teman-temannya segera ke tempat Wienersdorf dengan ketakutan sambil menunjukkan anak sumpit kecil yang menancap di pohon. Orang-orang Eropa lainnya memberondongkan tembakan untuk membersihkan tempat itu.
Akan tetapi Harimau Bukit menghalangi, menurunkan senapan-senapan mereka dan berteriak, diikuti dengan beberapa kata dalam bahasa yang tidak dipahami oleh orang-orang Eropa. Orang Punan itu kemudian terdiam beberapa saat dalam sikap menunggu, wajahnya menampakkan kecemasan yang sangat. Akhirnya beberapa suara parau terdengar menjawab, membuat wajah Harimau Bukit cerah kembali dan meyakinkan teman-temannya bahwa bahaya telah berlalu. Penduduk yang tinggal di sini ialah Ot Nyawong, satu suku yang bersahabat dengan suku Punan yang dipimpin Harimau Bukit. Mereka memohon agar pohon di mana Wienersdorf hendak menorehkan namanya tidak dirusak lebih lanjut.
"Benar-benar gagasan gila," geram La Cueille, "Usil sekali kamu, menorehkan nama sendiri di pohon di tengah-tengah hutan belantara."
"Ada apa dengan pohon itu?" tanya Wienersdorf.
"Orang-orang Ot telah menguburkan salah seorang warganya di dalam pohon itu," jelas Dalim. "Mereka membakar mayat-mayat orang mati, membungkus abu dan tulangnya yang setengah hancur dalam bungkusan kain kafan, membuat lubang besar dalam sebatang kayu besi dan meletakkan bungkusan itu di dalamnya. Kemudian mereka menutup mulut lubang itu dengan damar dan lilin-lebah dan melindunginya dengan lumut. Dalam waktu cepat alam akan merestorasi kulit kayu itu dan bekas-bekasnya lambat-laun akan hilang. Tak seorangpun tahu bahwa pohon raksasa itu, dengan batangnya yang ramping dan daun-daunnya yang membentuk kerudung yang lebar, adalah kuburan manusia."
"Satu model pemakaman yang aneh," komentar si Walloon.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...