PANGARERAN, ULAMA SUCI, DAN BUAYA

510 27 4
                                    

Sekitar tengah malam, Dalim yang berjaga membangunkan mereka; sampan didorong ke tengah sungai dan dengan hati-hati dikemudikan di sepanjang sungai. Dekat muara sungai para desertir mengamati ada daerah terbuka di dalam hutan yang dikelilingi dahan-dahan pohon yang menghitam bekas terbakar. Tempat itu adalah sisa-sisa benteng Dayak yang didirikan di sepanjang tepi sungai itu, tempat mengawasi anak sungai dan sungai. Ini adalah benteng pertama yang dibangun setelah pecah pemberontakan di pantai selatan Kalimantan.

Selama mendayung ke luar Sungai Basarang para buronan itu dengan hati-hati mengamati permukaan air sungai yang luas. Hanya tampak beberapa cahaya di sebelah tenggara dan sosok gelap benteng di muara Sungai Kapuas. Tidak ada hal lain yang dapat ditangkap dengan mata telanjang. Sungai itu aman, dan dengan usaha keras mereka meneruskan perjalanan.

Tetapi sial. Setelah dua hari menempuh perjalanan, ternyata mereka hanya berputar-putar saja. Jika di sana tampak cahaya- cahaya bersinar demikian benderang, maka dapatlah diterka betapa dekat meriam-meriam benteng itu dengan lokasi para buronan itu sekarang berada. Semua bergeming, ketenangan tengah malam hanya terganggu oleh pukulan gong dua kali yang menunjukkan pukul dua dini hari, dan suara seruan rendah para penjaga yang memperlihatkan bahwa betapapun segala sesuatunya terlihat sepi, kewaspadaan tidak ditinggalkan.

Hanya beberapa kayuhan lagi benteng akan lenyap di balik Tanjung Kumpai, belokan pertama di Sungai Kapuas. La Cueille yang menatap nyalang bekas tempat tinggalnya itu, kini meletakkan dayungnya dan menarik napas panjang. Yohanes mendengarnya dan berkata:

"Kamu menyesal" Katakan, belum lagi terlambat. Kami dapat mendaratkan kamu di pojok sungai ini. Pura-pura mabuk sudah cukup untuk menjelaskan ketidakhadiranmu. Kamu bebas mengemukakan alasan itu atau alasan apapun asal kamu tidak mengkhianati kami. Katakan, apa perlu kami mendaratkan kamu?"

"Kembali ke kepala-kepala keju itu? Tidak sudi !" teriak si Walloon bersemangat.

"Maka hentikan keluhanmu itu dan serahkan itu kepada perempuan dan anak-anak. Laki-laki tidak mengeluh dan harus bertindak."

"C"etait plus fort que moi," (Disambar gledek) La Cueille bergumam. "Cerita-cerita yang telah aku dengar selama dua hari terakhir ini mengerikan aku, dan pardieu (Demi Tuhan!) ketika aku melihat benteng di mana kita dapat istirahat aman seperti di pangkuan ibu kita, jauh dari hantu-hantu, para pengayau, pengisap darah, dan sebagainya benteng yang dapat kita capai hanya dengan beberapa kayuhan saja-jujur saja, aku punyai itu. Aku benar-benar merasa tergoda tadi. Tapi itu sudah sirna sekarang."

Si Walloon mengayuhkan kembali dayungnya sekuat tenaga, membantu agar sampan secepat mungkin bergerak maju sehingga perbentengan dengan cepat lenyap samasekali dari pandangan. Para buronan melewati gugusan pulau kecil yang disebut Kepulauan Telu dan ketika hari terang mereka sudah berada dekat dengan pulau Kanamit.

Dalim berpendapat, lebih baik mereka tidak meneruskan perjalanan lebih jauh dan menyarankan untuk bersembunyi di satu anak sungai yang mengalir ke tepi kanan Sungai Kapuas di belakang pulau. Ketika sampan memasuki cabang sempit sungai ini, Yohanes menunjukkan satu tempat dan berkata:

"Persis di situ kami nyaris tidak dapat lolos dari sampan-sampan orang Dayak. Kapal kami kandas dan kami diserang oleh pribumi yang berkhianat. Untunglah kapal Montrado tiba membantu kami dan mengusir mereka dengan satu tembakan meriam."

"Tapi," tanya Wienersdorf, "bagaimana sikap pribumi terhadap kita sekarang?"

"Mereka sangat tidak dapat dipercaya dan jika mereka tahu kita adalah si muka pucat, nyawa kita tidak harganya. Tapi kita adalah orang-orang Dayak sekarang. Jangan takut," Yohanes melanjutkan sambil tersenyum. "Bagaimanapun juga kita bertujuh, dan kita bebas menyimpan senjata di bawah kendali kita sendiri."

DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang