Pertama-tama yang harus dilakukan setelah keberangkatan armada kecil Dambung Papundeh adalah membawa rakit yang kini telah sarat dengan muatan dari danau ke arah sungai. Begitu selesai mereka berjabat tangan dengan bersahabat, dan rakit yang lamban itu selepas dari tambatannya segera hanyut terbawa arus deras. Para petualang kemudian pindah ke sampan mereka sendiri, memancangkan bendera Belanda di atasnya meneriakkan sorak gembira ke arah rakit, membenamkan dayung mereka ke dalam air dan segera menghilang dari tatapan para sahabat yang telah bekerja keras dan menghadapi kesulitan bersama dengan gagah-berani.
Yohanes kini memperingatkan teman-temannya, bahwa sejak jejak mereka diketahui maka segala sesuatu bergantung pada kecepatan. Mereka lolos semata-mata karena kebetulan dan pada kesempatan kedua mungkin mereka tidak lagi beruntung. Ia menghitung, mereka punya keuntungan lima hari dan dengan lebih sedikit mengerahkan tenaga mereka dapat menempuh jarak yang jauh dan barangkali sudah berada di luar jangkauan Belanda. Karena itu mereka memutuskan untuk mendayung siang-malam.
Sampan yang disiapkan oleh Baba Pucieng untuk para desertir itu sungguh luar biasa. Sampan itu dibuat ramping dan lunasnya runcing sehingga mudah meluncur di atas air.
"Syukurlah, sudah berakhir!" kata La Cueille, ketika mereka sedang istirahat pada malam hari sambil menyiapkan makan malam. "Peristiwa demi peristiwa bersusulan dengan cepat. Kemarin dulu kita punya satu tarian dan tadi malam ada pertunjukan serupa. Menurutku semua pengayau dari Kalimantan sedang mengikuti kita."
"Mustahil," jawab Yohanes. "Mereka yang semalam sama dengan orang-orang yang menyerang kita sebelumnya. Apakah kamu kira mereka tidak membuntuti kita lagi? Sedikitpun tidak."
"Tapi siapa yang merancang strategi memancing mereka dalam lorong sempit itu dan dari mana api tiba-tiba muncul? Tampaknya seperti keajaiban."
"Untuk ini semua kamu harus mendoakan Bapa Andong," jawab Yohanes. "Ia telah menumbuk sejumlah besar damar sepanjang hari dan menaburkannya pada ayakan rotan di atas lapisan minyak yang dituangkan pada piring. Tumbukan damar itu siap dinyalakan dengan sedikit api yang aku berikan dalam bentuk kotak korek api."
"Tapi, ah!"seru Wienersdorf, "benar-benar menghancurkan nyawa manusia. Ini benar-benar merupakan perjalanan yang mengerikan dan tidak seorangpun tahu kapan dan bagaimana berakhirnya!"
"Tak usahlah kita memikirkan soal itu sekarang," kata Yohanes. "Kita sekarang berada di sampan dan harus berlayar."
Kini Schlickeisen mencoba mengalihkan percakapan ke arah lain. "Alangkah indahnya danau itu," katanya, "yang kita masuki dengan rakit Bapa Andong. Aku terpesona pada pandangan pertama. Permukaannya yang mulus dan tidak beriak itu memantulkan pemandangan sekitar dan langit yang begitu bersih dan biru. Kelokan- kelokan dan anaksungai-anaksungai yang ada hampir tak tampak di bawah pekatnya warna hijau hutan-hutan perawan; tanjung-tanjung dan dataran-datarannya yang menjorok seolah merindukan air bening. Yang tak kalah menakjubkan, hutan belantara itu, seperti bingkai cermin dengan tumbuhan merambat dan membelit yang fantastis, pohon-pohon raksasa yang menegaskan kesuramannya tapi bersinar menantang langit yang indah dan bercampur-baur dengan anggrek-anggrek yang cantik dan bunga-bunga yang elok. Semua ini memperlihatkan pemandangan indah yang membuat aku terpesona hampir beberapa saat."
Wienersdorf yang duduk larut dalam lamunan, ia tampak sangat terpukau oleh deskripsi itu. Ia pelan-pelan mengangkat kepalanya, memandang ke arah si pembicara dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tampak telah meninggalkan pikiran-pikiran murungnya dan wajahnya mencerminkan kebenaran kata-kata yang diucapkan oleh temannya itu.
"Oh, benar! Danau itu memang indah," katanya, ketika yang lain terdiam. "Sangat indah dalam kesunyiannya. Semuanya bersinar dan mengkilap di bawah sinar matahari tropis seperti berlian-berlian yang baru lepas dari tangan Sang Pencipta."
"Ha! Ha! Ha!" tertawa Yohanes.
"Apa yang kamu tertawakan?" tanya Wienersdorf agak mendongkol.
"Lanjutkan, lanjutkan!" kata Yohanes, masih tetap tertawa. "Jangan biarkan rayuan puitismu terganggu oleh kata-kataku yang membosankan. Aku suka mendengarkan kamu."
"Saya merasa terhormat," Wienersdorf melanjutkan, "terutama karena tepian-tepian danau itu tidak teracuni asap-asap pabrik, tak ada kapal-uap yang berderum di atas permukaan danau yang tenang, tidak ada bunyi peluit uap yang memecahkan ketenangan dan kesunyian suci pada tepi-tepinya, dan tak ada gerombolan manusia yang mengejar keuntungan dan makan riba. Di sana orang merasa sendiri, sendiri di bawah mata Tuhan."
"Semuanya sangat indah! Aku ingin sekali bisa berbicara seperti itu," sela Yohanes tajam. "Betapa manusia bisa menjadi buta ketika dia larut dalam rapsodi puitis atau betapa manusia dengan cara yang berbeda memandang sesuatu apa adanya. Benar, kita tidak melihat asap pabrik atau mendengar bunyi peluit lokomotif yang bersiung- siung atau kapal uap yang meluncur di atas danau, tak ada pengusaha pabrik yang getol memaksakan cara mereka pada para saudagar yang resah. Tapi itu semua adalah persoalan-persoalan yang harus lebih disesalkan daripada dipesonai. Selain daripada itu, apa yang telah kita temukan? Sebagai ganti asap tebal pabrik, kita menyaksikan rangkaian bunga api di mana para pembunuh sedang memanggang kepala-kepala manusia yang tertangkap untuk dilepaskan dari dagingnya. Sebagai ganti bunyi peluit uap kita mendengar jeritan perang iblis-iblis itu, ketika mereka menyergap para korbannya yang sedang tidur, dan jeritan itu merupakan tanda peringatan kematian, ketika yang diserang dapat lolos hanya dengan menjadikan dirinya juga sebagai pembunuh. Dan kamu bisa-bisanya membandingkan ini semua dengan berlian yang baru lepas dari tangan Sang Pencipta dan mengatakan merasa sendirian seperti berada di hadapan Tuhan. Apakah itu semua pujian untuk Yang Maha Kuasa? Bagaimana dengan orang-orang buas yang menyerang kita dengan pedang-pedang terhunus? Bagaimana dengan orang-orang Dayak yang mengepung kita di rakit? Apakah mereka bukan manusia? Sendirian, dan sendirian bersama Tuhan? Tidak, tidak diragukan lagi kita telah digiring untuk berhubungan dengan manusia, manusia-manusia dari jenis terendah. Sebagian mereka tidak berperikemanusiaan, bernafsu untuk membunuh. Manusia-manusia yang senang dengan bunyi gemeretuk kematian dan deguk darah."
"Sudah, sudah!" sela Wienersdorf. "Aku tidak sedang membela pengayauan. Aku mendukung sepenuhnya kejijikanmu itu. Tapi Dayak-Dayak lain yang telah kita lihat benar-benar manusia yang bekerja keras demi hidup. Mereka adalah orang-orang yang puas dengan apa yang diwariskan oleh alam. Selama berbulan-bulan tinggal bersama dalam belantara di mana mereka bekerja keras mengumpulkan hasil- hasil hutan, mereka orang-orang seperti Bapa Andong."
"Bapa Andong dan kelasnya punya kesalahan-kesalahan, seperti dapat kuperlihatkan," kata Yohanes; "meskipun mereka merupakan perkecualian dari kebiasaan umum. Kamu akan lihat hanya sedikit orang Dayak yang kaya. Dan kenyataan ini, dibandingkan dengan sumber daya alam yang dimiliki hutan-hutan mereka, akan menjadi bukti betapa sengsara dan borosnya ras ini. Tengoklah tempat tinggal mereka semua berupa gubuk-gubuk paling sederhana di muka bumi ini. Tengoklah pakaian mereka, ketika berpakaian lengkap, pakaian mereka hanya terdiri atas kain-kain lusuh yang kotor dan mengibakan yang sebagian besar dari anyaman kulit kayu dan hampir tidak berbeda dengan kulit yang dimiliki seekor binatang sebagai satu- satunya penutup badan."
"Apa yang kamu ceritakan padaku memang sangat mengibakan," jawab Wienersdorf getir. "Manusia hampir seperti kutukan bagi pulau yang indah ini."
"Sebaliknya, negeri ini merupakan kutukan manusia," Schlickeisen menjawab berapi-api. "Negeri ini terlalu kaya. Ia menghasilkan kekayaan tanpa perlu orang bekerja. Orang hanya cukup membungkuk untuk memungut hasilnya. Ini membuat mereka malas, dan kemalasan kamu tahu, adalah akar semua kejahatan."
Ini menyentuh luka yang menggerogoti eksistensi manusia di wilayah milik Belanda yang paling kaya dan paling luas ini. Selama bertahun-tahun Kalimantan dijajah Belanda, dan dengan hati penuh dengki Belanda mencoba menjauhkan bangsa-bangsa lain yang mendekati pulau itu; mereka tidak berbuat apapun untuk mendorong penduduknya untuk giat bekerja.
Makan malam telah selesai dan jam istirahat telah lewat, orang- orang itu pun mengayuhkan kembali dayung mereka dengan tenaga baru dan perjalanan dilanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
أدب تاريخيKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...