Ketika hari mulai terang mereka mulai menyadari adanya jejak-jejak yang tidak diragukan lagi menunjukkan adanya manusia. Mereka telah menjelajah selama berhari-hari bersama-sama tanpa melihat manusia atau tanda-tanda keberadaan mereka. Di sini sama sekali berbeda. Mereka acap kali menjumpai kebun jagung, tebu, dan pohon buah-buahan, seperti kelapa, pisang, durian, yang ditanam di sepanjang perbatasan hutan asli. Rumah-rumah terlihat di beberapa tempat dan mereka merasa gembira melihat manusia sibuk dengan berbagai macam pekerjaan. Tetapi keganjilan juga terlihat di sini, yang mengesankan mereka berada di kota Towanan dan kota Baru.
Semua rumah di daerah hulu dikelilingi pagar besar runcing sehingga menjadi semacam benteng. Hanya dengan sedikit kewaspadaan di pihak penduduk, tidaklah mungkin musuh memasuki pagar dan hanya kelaparan atau kepengecutan saja yang dapat memaksa mereka nekat menyerahkan kubu pertahanan semacam itu. Ini adalah akibat nafsu mengerikan untuk mengumpulkan tengkorak manusia. Semua orang mempertahankan diri terhadap tiap kemungkinan pembantaian besar-besaran, dan mereka hanya merasa aman di balik dinding- dinding dan barikade-barikade yang kuat.
Perubahan aspek negeri itu cukup menambah minat para pengembara itu. Dalam waktu semalam seolah mereka telah sampai di dunia baru. Pikiran pertama mereka adalah memanfaatkan kesempatan itu untuk menambah bekal makanan. Karena itu mereka berhenti di satu kebun, menghadiahkan tembakau kepada penjaga, dan sebagai gantinya mereka diizinkan mengambil umbi-umbian dan sayur-mayur serta jagung sebanyak yang dikehendaki. Mereka juga mendapatkan kelapa dan buah-buahan lain. Penjaga itu selanjutnya memberitahu mereka bahwa sekelompok orang Punan berada di sekitar daerah itu beberapa hari lewat dan menasihatkan mereka untuk berhati-hati. Lagi peringatan kuno: awas kepalamu !.
Setelah mengambil bekal makanan secukupnya, para pelarian itu melanjutkan perjalanan dan pada siang hari mereka tiba di muara Sungai Kuatan, cabang utama Sungai Kapuas. Sungai ini dapat dilayari selama beberapa hari oleh sampan-sampan berukuran sedang. Sungai ini berawal dari sebidang tanah berawa yang berhubungan dengan Sungai Dusun melalui Sungai Lemo.
Yohanes mengusulkan untuk meneruskan perjalanan sepanjang Sungai Kuatan, karena Sungai Dusun lebih lama dilayari daripada Sungai Kapuas dan dengan demikian mereka akan mencapai pegunungan tengah lebih cepat.
Ketiga orang Eropa setuju dengan usul ini, tetapi Dalim dan orang-orang Dayak menolak dengan keras. Jalan itu tentu saja lebih mudah, tetapi karena mereka penduduk daerah Sungai Kapuas, mereka akan mendarat di daerah musuh bebuyutan dan mereka tidak mungkin menyembunyikan diri atau melarikan diri, dan mereka tidak akan diberi ampun atau belas kasihan. Perjalanan ke arah Sungai Kuatan merupakan hukuman mati bagi mereka.
Selagi mereka mempertimbangkan masak-masak, tiba-tiba satu rangkan yang didorong oleh 20 pendayung terlihat di belakang para pengembara itu. Munculnya rangkan ini dari sekitar belokan tajam begitu tiba-tiba sehingga para pendayung di dalam sampan menjadi lumpuh kengerian.
"Orang Punan! Orang Punan!" teriak mereka sambil mengambil mandau.
Orang-orang Eropa memegang senapan mereka dan tembakan gencar bakal segera dilepaskan jika Dalim tidak segera menghentikan mereka sambil berteriak:
"Tahan, jangan tembak!"
Seorang Punan dalam pakaian perang lengkap, tetapi tidak bersenjata, berdiri di buritan rangkan sambil mengangguk-anggukkan kepala dan melambaikan kedua lengannya seperti seorang gila.
Ketika rangkan dan sampan semakin saling mendekat, para pengembara mengenali si pengayau itu. Ia adalah Harimau Bukit, orang Punan yang nyawanya telah diselamatkan oleh Wienersdorf di Danau Ampang. Ia telah kembali ke sukunya, tetapi karena merasa teman-teman barunya itu berada dalam bahaya ia datang untuk membantu mereka. Itu sebabnya ketika mendekati para pengembara, ia dan kawan-kawannya meletakkan senjata sebagai tanda persahabatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...