Sekarang tidak ada lagi gangguan untuk melanjutkan perjalanan. Karena itu para desertir mendesak untuk segera berangkat. Orang-orang Eropa itu menjadi hampir putus asa ketika sesuatu yang tidak disangka-sangka terjadi dan mengakhiri kekikukan mereka.
Sebuah jukung yang dikendarai utusan tiba pada suatu pagi dengan membawa pesan bahwa meskipun Gubernemen Belanda telah menerima penyerahan kota Jangkan, komandan akan datang sendiri dengan kapal-api untuk menjemput kepala baru dan membawanya ke Banjarmasin guna diambil sumpah setianya. Kapal-api ini mungkin tiba dalam beberapa jam lagi. Harimau tahu bahwa jika Komandan tiba sebelum dia berangkat, maka Komandan dapat menggagalkan pindahnya suku. Karena itu jalan terbaik adalah berangkat lebih awal. Segala sesuatu disiapkan dengan cepat dan semua tangan sibuk dengan persiapan-persiapan akhir.
Malam terakhir yang berlalu di kota Jangkan merupakan kegiatan yang luarbiasa dan ketika esok hari tiba, semua telah siap berangkat. Hanya meriam-meriam, yang demi keamanan dibiarkan terpasang di tempatnya semalaman, harus dinaikkan ke alat angkut. Pengangkutan senjata-senjata berat orang-orang Eropa ini segera diselesaikan, dan perpisahan itu seperti tiada habis-habisnya sampai kemudian Yohanes, sambil menunjuk ke arah selatan, tiba-tiba berteriak:
"Banama asep! Banama asep!" (Kapal-api! Kapal-api!)
Benar saja, kepulan asap tampak di ujung hutan di arah selatan.
Semua serempak mengambil tempat di rangkan masing-masing dan dalam waktu singkat sepuluh rangkan, yang memuat 165 orang, seluruh emigran besar itu, meninggalkan daratan beserta seluruh barang milik mereka. Dayung membelah air dengan seru dan rangkan- rangkan meluncur dengan cepat. Suara "hura" diserukan oleh para pengelana itu, yang dijawab oleh teman-teman mereka yang ada di belakang dan kota, yang dengan ramah telah menyambut kedatangan para petualang itu, tertinggal di belakang.
Daerah yang dilalui semakin liar dan tepi-tepi sungai semakin tinggi, kadang-kadang menggantung seperti mengancam dengan kematian dan kehancuran.
Permukaan sungai masih tetap belum beriak. Meskipun arus mengalir dengan kecepatan bertambah, rangkan-rangkan masih dapat berlayar dengan baik. Di sana-sini pusaran air harus diamati dengan baik, ketika rangkan melalui bebatuan kapur yang bertebaran, tetapi itu dapat dihindari dengan hati-hati. Kapuas masih merupakan sungai dengan kedalaman enam kaki sehingga kapal-api kecil tidak begitu sulit bergerak.
Setelah beberapa jam mendayung, mereka sampai di Batu Sambong. Di sini Amai Kotong turun ke darat beberapa menit untuk bersilaturahmi dengan kepala kampung itu, orang yang telah hidup berdampingan secara damai selama beberapa tahun dengan Amai Kotong. Penduduk kota itu, tertarik pada mereka yang sedang menempuh perjalanan, mendatangi mereka sambil membawakan juadah dan tuak, yang keduanya diterima dengan ucapan terimakasih tidak saja oleh La Cueille tetapi juga oleh para perempuan, yang meskipun tenaga mereka terbatas tetapi turut mengayuh.
Meskipun perjalanan mereka terhenti tidak sampai setengah jam, tetapi bagi Yohanes itu mencemaskan. Dia merasa masih tidak aman sebelum mereka melewati perintang kapal-api, yaitu air terjun pertama. Begitu mereka melewati air terjun itu, berhenti sejam atau lebih tidak jadi masalah karena mereka tidak mungkin lagi terkejar. Sampai saat itu semboyannya: "Maju terus! Maju terus!"
Tidak jauh dari kota Sambong mereka melewati suatu padas kapur terpencil yang tingginya 50 kaki. Padas kapur itu membuat Yohanes meminta perhatian teman-temannya. Dilihat dari jauh bentuknya seperti perempuan raksasa bersimpuh sedang melilitkan kain di kepalanya. Di kaki padas ini Sungai Kapuas menghantamkan airnya dengan keras, menebarkan di sekitarnya buih-buih yang menggunung seakan-akan murka pada penghalang jalannya itu, yang memaksanya untuk mencari jalan lain. Yohanes memberitahu teman-temannya bahwa kota tetangga itu telah mengambil nama padas karang ini: Batu Sambalayong, disingkat menjadi Batu Sambong.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...