Yohanes telah memikirkan cara lain untuk membuang barang- barang yang diperoleh dari Baba Pucieng, dari Bapa Andong, dan dari kota Baru dengan melakukan barter dengan suku Olo Ot. Sebetulnya kini mereka sudah ditimbuni banyak kekayaan, sehingga barter tampaknya tidak diperlukan. Tetapi Yohanes sangat ingin menyaksikan sendiri dan menunjukkan kepada teman-temannya cara orang Dayak berbisnis. Karena itu ia bicarakan masalah itu dengan Harimau, yang melihat rencana itu benar-benar bisa dilaksanakan. Karena itu segala sesuatunya disiapkan untuk ekspedisi dagang.
Pada pagi yang indah, keempat sahabat itu ditemani oleh Dalim, Harimau Bukit, dan Amai Kotong, berlayar menghulu Sungai Miri dengan rangkan yang sengaja disewa untuk tujuan itu. Perjalanan itu cukup jauh. Pada hari ketiga para pelayar itu tiba di Sungai Danom Pari, di mana mereka mendarat di bawah sebatang pohon raksasa dan rindang di dekat pinggir sungai. Di kaki pohon itu mereka menggelar tikar, dan di atasnya mereka letakkan setumpuk garam, merjan-merjan, bahan pakaian: seperti jaket dan cawat yang terbuat dari kain kasar dan kulit kayu, sekitar 20 bilah mandau, beberapa potong besi, beberapa lusin pisau yang kasar buatannya, dan sejumlah tembakau dalam bungkusan- bungkusan kecil. Semua barang itu diletakkan terpisah-pisah di atas kios dadakan itu. Beberapa makanan kecil yang terdiri atas kue-kue ditambahkan. Minuman diwakili sebuah guci tuak yang besar.
"Aku tidak keberatan menjaga guci itu," kata La Cueille.
"Karena takut kehabisan?" tanya Yohanes dengan tersenyum. "Lebih baik kamu tinggalkan guci itu sendirian, karena guci itu tidak dapat melindungimu, dan aku yakinkan kamu perlu dikawal di daerah ini. Kita berada di daerah orang-orang Ot yang akan kuceritakan nanti."
Ketika semua barang telah dipajang, Harimau Bukit mengambil gong yang digantung pada satu cabang pohon, dan dengan sebatang kayu ia memukulnya beberapa kali sehingga gemanya terdengar di seantero hutan. Mereka memasang telinga dengan seksama sekitar sepuluh menit. Mengetahui tidak ada jawaban, orang Punan itu memukul lagi gong beberapa kali. Kemudian dari kejauhan sejumlah suara yang bunyinya sama terdengar. Suara-suara itu menggumam seakan-akan keluar dari satu lubang pohon. Kini Harimau Bukit mengajak teman-temannya naik kembali ke rangkan, memukul kembali gong, dan seluruh rombongan mengayuh ke hilir sungai satu setengah mil di mana mereka berhenti dan menunggu di tengah- tengah sungai.
"Aku bersyukur jika bisa melihat barang-barang kita itu kembali lagi," kata Schlickeisen.
"Jangan takut," jawab Yohanes, "tunggu saja".
Mereka tidak harus menunggu terlalu lama. Beberapa jam kemudian terdengar suara gong lalu rangkan mematuhi tanda itu dengan berlayar lagi menghulu sungai ke posisi semula.
Mereka kembali ke kios mereka dan memeriksa kondisinya. La Cueille yang menemukan pertama kali dan ia berteriak jengkel:
"Tengok kemari, guci tuak kita sudah melompong!"
Namun keheranan dia dan teman-temannya semakin bertambah ketika melihat barang-barang yang dipajang untuk para pembeli tidak kelihatan yang misterius, masih ada dan utuh. Selain barang-barang yang diperdagangkan itu, telah diletakkan barang-barang lain sebagai harga yang ditawarkan. Sebutir atau berapa batu guliga, beberapa tumpuk serbuk emas, dan kulit macan, ditawarkan sebagai ganti sebilah mandau, pakaian, sebilah pisau, dan beberapa bungkus tembakau atau merjan kaca.
"Tapi bagaimana selanjutnya?" tanya Wienersdorf.
"Coba kita lihat baik-baik dan perkirakan nilai tiap barang," kata Harimau.
Kemudian dengan cermat mereka mengamati barang-barang tawaran mereka dan harga yang ditawarkan, dan mereka menghitung sebagian besar nilai barang penukarnya melebihi barang- barang yang hendak dijual. Terutama garam tampaknya merupakan kebutuhan terbesar Olo Ot, karena tumpukan-tumpukan besar emas ditawarkan sebagai barter untuk komoditas itu.
Ketika semua pedagang dadakan itu puas dengan harga-harga itu, Harimau Bukit mengumpulkan semua barang yang ditinggalkan oleh Olo Ot dan membawanya ke rangkan. Kios yang berisi barang dagangan mereka sendiri ditinggalkan dan tidak disentuh. Harimau memukul gongnya keras-keras sebagai tanda, menurunkannya, dan membawanya ke rangkan ketika perjalanan pulang dengan segera dimulai.
Ketika membuat perhitungan laba-rugi, Yohanes merasa bahwa untuk sampah yang ditawarkan oleh orang-orang Eropa dalam perdagangan itu mereka mendapat 100 butir batu guliga, sekitar enam tahil serbuk emas, dan sejumlah besar kulit macan. Kulit-kulit ini diminta Yohanes untuk dijadikan jaket yang amat berguna bagi mereka dalam perjalanan yang direncanakan melalui hutan belantara.
"Luar biasa," kata La Cueille, "ini bisnis yang sangat menguntungkan. Ini sama sekali mengalahkan pedagang borongan manapun".
"Tapi andaikata," tanya Wienersdorf, "orang-orang Ot itu tidak memberi nilai yang memadai untuk barang-barang kita, apa yang harus kita lakukan?"
"Dalam hal itu," kata Dalim, "kita hanya mengambil kembali barang-barang kita dan meninggalkan barang-barang mereka."
"Dan sebaliknya, jika mereka mengambil barang-barang kita tanpa menyisakan apapun?"
"Hal semacam itu tidak bakal terjadi," Yohanes menjelaskan. "Dalam cara barter semacam ini tersirat rasa saling percaya tanpa kedua belah pihak saling mengenal. Pernah terjadi beberapa pedagang Melayu, ketika memindahkan barang-barang mereka, mengambil beberapa barang yang ditawarkan sebagai alat tukar oleh orang- orang Ot. Tapi belum sampai setengah jalan ke hulu mereka terkejar dan membayar ketidak jujuran mereka dengan nyawa."
"Katamu, mereka adalah para pedagang yang tidak mau terlihat. Apa betul begitu?"
"Memang. Jika orang-orang Ot menampakkan diri, itu artinya perang dan salah satu pihak harus hancur."
"Orang-orang macam apa Olo Ot ini?"
"Ah! Kini kamu bertanya lebih daripada yang dapat kujawab. Aku sendiri belum pernah melihat mereka. Tapi tanya orang-orang Punan itu dan kamu akan mendengar bahwa mereka adalah orang-orang setengah monyet dan punya ekor."
"Ekor?" seru La Cueille, cukup kaget.
"Ya ekor, Walloonku tercinta," kata Yohanes sambil tersenyum. "Jangan lupa, kamu juga pernah punya ekor, paling tidak nenek moyangmu dan jika...."
"Nenek moyangmu, barangkali bukan moyangku," jawab si Walloon marah.
"Dan," lanjut Yohanes dengan tenang, "jika kamu amati ujung tulang punggungmu, akan kamu lihat bahwa tulang belakang yang terakhir terasa seakan-akan telah patah. Beberapa sarjana barangkali mencoba membuktikan bahwa itu hanya akibat kebiasaan kita duduk sehingga ekor yang asli menjadi aus. Keganjilan ini menurut mereka, terus berlanjut dari generasi ke generasi. Bukankah begitu, Wienersdorf?"
"Begitulah menurut Adams, Schlegel, dan kemudian Darwin...."
"Stop, stop," teriak La Cueille, "kita tidak mengenal siapa tuan- tuan itu!"
"Namun itu benar-benar fakta positif," lanjut Yohanes, "yang telah diamini oleh banyak sarjana, bahwa di Kalimantan ini suku- suku itu benar-benar menikmati kemewahan ekor. Menurut mereka, ekor ini tidak lain hanyalah kepanjangan tulang punggung. Pemilik ekor tambahan ini selalu membawa serta sepotong kecil papan berlubang dengan panjang sekitar delapan inci, di atas mana mereka duduk supaya yang menonjol itu tidak mengganggu kenyamanan mereka. Menyangkut Olo Ot, mereka dianggap sebagai penduduk pribumi Kalimantan yang lambat-laun terdesak ke dalam belantara oleh suku-suku lain. Mereka sangat pemalu, sangat berbahaya, dan pengayau, dan samasekali tidak menolak menikmati daging manusia dengan atau tanpa garam dan lombok. Mereka tidak punya kampung, juga tidak punya hubungan sosial. Mereka hidup bersama dalam keluarga-keluarga, akan tetapi cukup besar untuk membentuk satu kelompok yang terdiri atas 12 sampai 15 orang laki-laki. Kapan saja ada tanda bahaya dibunyikan pada lubang-lubang di atas pohon hutan-hutan ini, dengan cepat mereka berkumpul dari berbagai arah sampai mereka berhasil mengumpulkan beberapa ratus orang yang gagah-berani. Rumah dalam pengertian kita tidak mereka kenal. Mereka membuat semacam sarang di atas pohon besar dan tinggal di situ. Selanjutnya mereka bergerak di atas puncak-puncak pohon di hutan-hutan ini dengan begitu lincah yang tidak bisa kita bayangkan. Mereka hanya bisa dikalahkan oleh kahio, buhi, atau jenis-jenis monyet lain. Tapi kamu boleh tinggal tenang bahwa sejak kita menginjakkan kaki di wilayah mereka, tidak sedetikpun kita tidak diawasi. Bahkan sekarang, meski kita tidak melihat mereka, mereka sebenarnya berada di sekitar kita."
"Setan mereka," gumam La Cueille, "sebaiknya kita pergi lebih cepat dan ke luar dari intaian mereka."
Mereka mengayuh dengan mantap dan rangkan meluncur ke hilir dengan cepat dan aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Ficción históricaKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...