Ketika perjalanan dilanjutkan pada hari berikutnya, rangkan- rangkan bergerak hampir seperti melesat. Ketika melalui jeram kecepatan mereka luarbiasa, karena selain akibat derasnya arus, para jurumudi juga mendorong para pengayuh menggunakan segenap tenaga demi keamanan sampan-sampan di atas air yang bergolak. Di tengah arus satu demi satu rangkan melesat bagai terbang ke bawah jeram-jeram, yang membuat orang-orang Eropa itu ketakutan setengah mati. Kekhawatiran berbenturan dengan batu-batu yang mencuat di hampir semua sudut membuat mereka gemetar. Akan tetapi kemudi berada di tangan-tangan yang trampil, para pendayung yang waspada dan setia sehingga sampan-sampan itu pun selamat mencapai Sungai Kahayan.
Kini tengah hari dan rangkan-rangkan segera berlayar menghulu ke arah utara sungai besar ini. Sekitar pukul tiga sore para musafir mencapai kota Dewa, di mana Amai Kotong dan Harimau Bukit mendarat. Mereka dapati penduduk dalam keadaan amat cemas, karena invasi Temenggung Surapati baru saja dilaporkan. Berita ini memaksa mereka memutuskan untuk berlayar sepanjang malam, karena purnama bersinar terang dan tidak berbahaya berlayar di malam hari di atas sungai yang lebar dan mengalir pelan.
Kira-kira sudah jam delapan pagi ketika para musafir itu melihat di kejauhan, di sisi kiri sebuah bukit, batu raksasa dengan puncaknya yang bundar muncul tegak lurus dari dasar sungai. Inilah akhir pelayaran malam mereka. Rangkan-rangkan meskipun digerakkan dengan segenap tenaga oleh para pendayung, maju perlahan melintasi buih ombak yang menghantam sisi-sisi tegak lurus batu besar itu yang tingginya 400 kaki.
Segera setelah mereka melewati sisi barat sungai tampaklah suatu lembah yang dihampari pasir putih, di mana sebuah tomoi didirikan sebagai tempat mendarat sampan. Ketika mendekat, para musafir itu melihat tiga rangkan besar berlabuh di dermaga ini. Rangkan-rangkan itu kosong, para penjaganya melarikan diri ketika melihat sampan-sampan asing. Tetapi keberadaan para pejaga itu cukup menimbulkan kepanikan di antara para pengembara.
"Olo Dusun, olo Dusun!" (orang-orang Dusun) teriak mereka, sehingga timbul banyak kekacauan di kalangan perempuan dan anak- anak. Akan tetapi Harimau Bukit mengucapkan beberapa kata dan berhasil menenangkan ketakutan mereka.
Para perempuan dan anak- anak semuanya dipindahkan ke dalam dua rangkan dan tempat mereka semula diisi oleh anggota rombongan laki-laki. Dua rangkan yang berisi para perempuan, karena mereka dapat mendayung sama cakapnya dengan laki-laki, menyusuri sisi kiri sungai dan meluncur ke hilir sungai dalam jarak yang cukup. Dua rangkan yang lain yang membawa laki-laki bersenjata, termasuk orang-orang Eropa, mendarat di tomoi. Tidak satupun nyawa ditemukan di situ. Mereka dengan hati-hati memeriksa bangunan-bangunan kecil, tetapi tidak menemukan sesuatu.
Para laki-laki kini memasuki jalan setapak dengan waspada dan berjalan mendaki sebuah bukit tanah liat teijal di mana kadang-kadang terdapat bagian yang rendah. Akhirnya mereka melihat daerah bebatuan tempat kota berada. Kira-kira 50 langkah lagi mereka akan menyaksikan 60 orang Dusun dalam satu kelompok sedang berusaha mendaki dataran tinggi tempat kota dibangun. Terlihat beberapa batang pohon tinggi yang telah ditakik sebagai tangga sederhana dan di puncaknya sekitar 20 orang sedang mendaki bagian atas bukit batu.
Ketika Yohanes, sang pemimpin melihat prajurit-prajurit Dusun ini, ia perintahkan orang-orangnya untuk berhenti dan memerintahkan satu peleton menembak para prajurit Dusun itu. Kedua orang Swiss mengikuti taktik lama mereka, menghemat amunisi sambil menunggu kesempatan yang lebih baik. La Cueille dan Yohanes memulai tembakan ke arah para pendaki. Dengan cermat mereka memilih sasaran yang paling atas. Hasilnya luarbiasa. Mereka jatuh sambil menimpa orang-orang yang berada di bawahnya. Ketakutan yang ditimbulkan karena tembakan itu semakin bertambah ketika peluru-peluru kedua penembak jitu itu diarahkan dengan tepat ke tengah-tengah gerombolan prajurit Dusun, sehingga korban yang jatuh lebih banyak daripada suara bising tembakan orang-orang Dayak dan korban mati dan terluka pun segera bergelimpangan di tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...