Para desrtir melanjutkan perjalanan dari Sungai Mentangi sepanjang malam. Mereka kini telah tujuh hari penuh menjadi buronan. Daerah sekitar lambat-laun tidak lagi terlihat seperti pinggiran sungai dan meskipun ketinggian tanah belum begitu mencolok dan para buronan itu masih dapat membedakan dengan jelas gelombang air pasang naik atau pasang surut, riwut harusan, napas sungai, sama sekali telah berhenti. Pasang tertinggi tidak pernah membawa air laut sejauh tempat itu dan air sungai di sini bebas dari rasa payau.
Pada jam tiga sore para petualang tiba di satu tempat yang disebut petak baputi, layar putih, oleh penduduk. Tempat ini terdiri atas deretan bukit dengan ketinggian sekitar 40 kaki, terbentuk dari pasir putih kebiru-biruan, bercampur dengan berbagai jenis kerang dalam lumpur tanah liat yang ditemukan di sekitar pantai selatan Kalimantan. Untuk mendukung hipotesis ini, bahwa dahulu kala daerah ini merupakan pantai selatan suatu pulau, formasi-formasi bukit yang serupa ditemukan dalam jarak yang sama di muara Sungai Dusun, Kahayan, dan Mantawei.
Mengendurkan segala persendian di atas pasir putih itu merupakan relaksasi bagi orang-orang Eropa itu, karena duduk selama berhari-hari dengan menyilangkan kedua kaki dalam sampan sangat meletihkan bagi mereka yang tidak terbiasa. Karena itu mereka bergerak leluasa, masing-masing sibuk mengumpulkan sejumlah buah berry merah tua, mirip seperti berry hitam Eropa, yang tumbuh melimpah di sini. Buah itu memberi kesegaran sebagai selingan makanan mereka yang membosankan.
Setelah mereka beristirahat satu atau dua jam Dalim memberi tanda untuk berangkat, menceritakan kepada mereka bahwa di daerah itu mereka akan diserbu ribuan nyamuk pada malam hari. Meskipun menggunakan brotowali sangat banyak, tetap mustahil mereka tidur. Menurut cerita Dalim, daerah itu merupakan tempat di mana sebagian besar nyamuk di seluruh pulau berkumpul. untuk itu ia menceritakan legenda berikut:
"Putra Sultan Kuning, Jata atau Buaya Raja Batang Murung, akan menikah dengan putri Anding Maling Guna, Raja Buaya Sungai Kapuas. Perkawinan dilangsungkan di tempat ini; dan semua ikan, ular air, udang, katak, dan penghuni lain sungai itu berkumpul untuk merayakan upacara perkawinan. Mereka membawa ratusan pon nyamuk, hadiah terbaik yang dapat mereka berikan untuk pasangan pengantin muda tersebut sebagai tanda penghormatan. Hadiah itu dengan senang hati diterima. Lalu keturunan nyamuk itu, untuk mengenang perkawinan tersebut, memberi para musafir yang karena sial terpaksa bermalam di situ hadiah yang sangat tidak menyenangkan."
"Hadiah yang aneh," komentar La Cueille, "hanya orang Dayak yang sanggup menyarankan hadiah perkawinan semacam itu."
"Aku mendengar Dalim menyebut Pulau Kalimantan," berkata Wienersdorf. "Pulau yang mana itu?"
Yohanes menjelaskan kepada La Cueille bahwa Kalimantan adalah sebutan penduduk pribumi untuk Borneo. Sedangkan Borneo diucapkan oleh orang Eropa sebagai nama keseluruhan pulau Kalimantan, berasal dari kata Brunai yang hanya menunjuk sebagian kecil saja wilayah pulau itu, yang terletak di pantai barat laut.
"Apakah kata Kalimantan punya arti?"
"Kalimantawa adalah sebutan orang Dayak untuk buah durian, bentuk pulau ini juga mirip durian yang mungkin sekali juga dipakai sebagai nama pulau ini."
"Itu sangat tidak mungkin," Wienersdorf menyambung. "Borneo adalah salah satu pulau terbesar di dunia dan untuk menetapkan bentuk pulau sebesar ini orang dituntut memiliki pengetahuan yang memadai, hal yang tidak dimiliki oleh penduduk Kepulauan Hindia ini."
Dalim kemudian membungkuk ke arah Yohanes dan membisikkan sesuatu.
"Mungkin kamu benar," kata Yohanes kemudian. "Dalim baru saja menyarankan Kali intan, sungai intan. Ini mungkin asal-usul nama Kalimantan yang sebenarnya."
Dengan diskusi semacam itu waktu terasa menjadi singkat dan para buronan segera tiba di kota Towanan. Ini adalah benteng Dayak yang umum ditemukan di seluruh wilayah pedalaman Kalimantan. Benteng ini berupa bangunan persegi panjang tanpa ada bagian yang menjorok. Dinding-dindingnya terbuat dari tonggak-tonggak kayu yang kokoh berukuran besar dan diberi hiasan di sana-sini dengan patung-patung kayu seukuran orang hidup, yang menggambarkan para pejuang Dayak dalam berbagai sikap perang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...