PENGEPUNGAN BERAKHIR

289 15 0
                                    

Fajar baru saja terbit ketika Yohanes dan Schlickeisen dari pos jaga melihat gerak mencurigakan di perbatasan hutan. Mereka melihat dua orang dan salah satunya, dilihat dari seragamnya, pasti Kolonel, berjabatan tangan dan kemudian berpisah. Yang seorang berjalan ke arah kota sedangkan yang lain balik ke dalam hutan. Untuk mencegah kepanikan, Yohanes turun menemui Amai Kotong yang segera mengenal orang itu sebagai Temenggung Kuala Kapuas.

"Itu salah seorang teman lamaku," katanya, "dan Anda jangan mencederainya."

"Tentu saja tidak," Yohanes menjawab. "Ia seorang tua yang sangat jujur. Tapi saya menolaknya masuk ke dalam kota. Anda pergi dan bicaralah padanya, Harimau. Saya kira tiang gantungan yang telah dijanjikan orang-orang kulit putih itu untuk Anda."

Orang Punan itu tersenyum dengan perasaan terhina. Nikodemus tua, sementara itu datang mendekat. Tangan kanannya membawa bendera Belanda kecil yang diikatkan di sebatang tongkat pendek, sementara tangan kirinya memegang tongkat rotan yang bagus dengan kepala berwarna keemasan yang berat, diukir lambang Belanda. Ketika sampai kira-kira seratus langkah dari benteng, tiba- tiba ia melihat satu kepala nongol dari benteng dan mendengar suara ditujukan kepadanya:

"Hormat, Bapa Temenggung! Mau apa gerangan Anda kemari?"

Takut pada suara itu, yang tampaknya tidak asing baginya, ia memerhatikan dengan sungguh-sungguh dan terkejut ketika mengenal wajah yang terkenal itu, wajah sumeh Harimau Bukit, Kepala Suku Punan, macan pegunungan. Apa yang sedang dia kerjakan di sini? Apakah dugaan Kolonel itu benar, bahwa suatu pemberontakan sedang disiapkan di hulu negeri? Temenggung sangat ketakutan sehingga ia lupa menjawab pertanyaan dan terpaku bagai patung.

Tiba-tiba dua tembakan dilepaskan dengan sangat jitu sampai bendera dan tongkat terlempar dari kedua tangan Temenggung. Yohanes dan Schlickeisen telah memberikan contoh keahlian menembak dengan tujuan menakut-nakuti, bukan untuk melukai orang tua itu. Mereka berhasil menembak dengan sangat mengagumkan, karena orang tua itu berdiri terpaku sambil memandang pecahan-pecahan tongkatnya, yang karena merupakan hadiah Pemerintah Belanda sangat dihargainya lebih daripada semua miliknya yang lain.

Tetapi ketika ia mendengar suara Harimau Bukit berkata lagi:

"Bapa, pergilah cepat !"

Temenggung segera mengambil langkah seribu, larinya semakin kencang karena beberapa tembakan ke udara yang dilepaskan oleh orang-orang Eropa itu.

"Itu untuk melepaskan boneka-boneka pergi!" kata Kolonel ketika mendengar suara tembakan-tembakan.

Kolonel tidak jadi mengeluarkan ucapan ini ketika Temenggung muncul dengan sangat ketakutan dan kehabisan napas karena berlari demikian kencang. Kepala suku tua itu duduk tepekur di dahan pohon, dan selama beberapa waktu tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Akhirnya setelah menenggak brendi dari botol yang disodorkan oleh Kolonel, ia berkata:

"Kepala Suku Punan ada di situ."

Ketakutan dan kengerian tampak di wajah Temenggung dari Kuala Hiang mendengar kata-kata ini, meskipun Kolonel tidak mengerti laporan yang membuatnya gelisah. Kini Nikodemus mulai sedikit tenang dan menceritakan pengalamannya dan menyimpulkan bahwa kedudukan mereka sekarang sangat berbahaya.

"Mengapa Temenggung?"

"Orang-orang Punan adalah pemberani dan saya hanya bisa menyatakan keheranan bahwa malam berlalu dengan tenang. Mereka tidak tertandingi dalam melancarkan serangan malam hari."

"Oh, Temenggung! Samasekali tidaklah seburuk itu," tegur Kolonel. "Saya samasekali tidak takut."

"Tapi saya takut, Tuan!" adalah jawaban yang sungguh-sungguh. "Saya kaitkan sebagian keselamatan kita dari petaka besar dengan cahaya bulan yang terang dan sebagian lagi dengan pesta yang dirayakan tadi malam di dalam kota. Apa kita tidak mendengar ledakan meriam mereka pada jam sembilan, dan teriakan-teriakan para bilian sepanjang malam?"

DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang