Tiga hari dua malam berlalu tanpa terjadi insiden. Tampaknya pulau itu tidak berpenghuni. Tidak seorang manusiapun tersua selama itu, tidak satu perahupun tampak, bahkan tidak ada kepulan asap yang menunjukkan adanya gubuk di mana pribumi berjuang untuk hidup yang paling sederhanapun.
Sesekali sekawanan monyet muncul dari pinggiran hutan, kemudian segera menghilang lagi di tengah-tengah dedaunan hijau sambil mengeluarkan jerit ketakutan dan menampakkan muka-muka menyeringai yang amat mengerikan. Kadang-kadang pula seekor ikan besar mengganggu ketenangan air dan muncul di permukaan. Ini semua yang mereka saksikan untuk meyakinkan diri bahwa kehidupan binatang tidak sirna dari Kalimantan.
Mereka mendayung tanpa henti. Sampan yang dikemudikan oleh Dalim telah melewati sejumlah jalan pintas, dan dengan cara itu mereka menghindari banyak kelokan sungai dan membuat banyak kemajuan. Malam ketiga telah dilalui separuh ketika para pengelana itu mendekati Kuala Hiang.
Benteng ini dibangun di muara Sungai Hiang atas perintah Pemerintah Belanda untuk mencegah ekspedisi-ekspedisi perompakan masuk ke negeri Kapuas. Benteng itu dipersenjatai empat pucuk meriam kecil dan dijaga oleh 50 orang Dayak dari Kuala Kapuas.
Dalim berulang kali berbisik kepada Yohanes berkenaan dengan bahaya yang bisa mucul di tempat ini. Tidak diragukan lagi, sangat tidak mungkin garnisun itu telah dilapori tentang pelarian empat serdadu Eropa. Apalagi mereka semua tahu Dalim dan teman-teman Dayaknya berada di bawah pengawasan polisi. Semua orang di Kuala Kapuas akan mengenal mereka. Jika itu diketahui, kepala Kuala Kapuas, Temenggung Pati Singa Jaya, pasti akan menangkap dan mengirim mereka kembali ke Kuala Kapuas.
Menghindari benteng, dan dengan demikian mencegah mereka ketahuan juga mustahil, karena tidak ada jalan pintas di bagian sungai ini untuk menghindar dan mencapai anak sungai-anak sungai di beberapa tempat.
Yohanes berpikir keras. Akhirnya ia mengusulkan melewati Kuala Hiang pada malam hari selarut mungkin. Garnisun Dayak pada waktu itu kiranya sudah tidur lelap dan sampan bisa lolos tanpa diketahui. Usul ini disepakati, tetapi untuk menyiapkan keadaan darurat Yohanes dan La Cueille sibuk memasang dua meriam kecil yang diambil dari Sungai Naning pada dua potong kayu keras, dan moncong-moncongnya diarahkan ke darat. Kedua meriam itu diisi dengan peluru-peluru kosong.
Malam sangat gelap ketika mereka sampai di perbentengan. Dayung diayunkan hati-hati dan hampir tidak terdengar. Dalim mengemudikan sampan ke bagian tepi sungai yang terlindung di mana benteng itu tegak berdiri. Mereka maju berlahan-lahan dan hampir mendekati batas hutan ketika tiba-tiba terdengar suara berteriak:
"Hei, apa yang dilakukan orang-orang itu di sini?"
Dan belum lagi jawaban diberikan, satu tembakan dilepaskan menembus atap sampan.
Keputusan tidak dapat ditarik kembali.
"Mereka menembak orang-orang Belanda!" Yohanes berteriak keras dalam bahasa Dayak. "Kota ini telah diduduki para pemberontak. Maju, tembak para pembunuh itu! Tembak, tembak mereka!"
La Cueille atas perintah Yohanes, menembakkan kedua meriam tanpa menimbulkan cedera, menerangi malam yang gulita dengan leretan sinar dan suara seperti guntur ketika gema peluru meriam berpantulan di antara tepian sungai. Yohanes dan Dalim, dengan empat senapan melepaskan tembakan ke arah benteng dan dengan cepat mengisi kembali senapan mereka. Dua orang Swiss melepaskan tembakan jitu dengan senapan-senapan repetitir mereka, yang membuat orang-orang Dayak di benteng percaya bahwa satu pasukan besar, sepuluh kali lebih kuat daripada yang sesungguhnya telah ikut beraksi.
Para petualang tetap menembak dengan bersemangat sampai sekitar seratus tembakan ketika Yohanes memerintahkan untuk berhenti. Tidak ada suara yang terdengar. Garnisun Dayak telah terbangun dari tidur mereka karena bunyi tembakan, tetapi orang- orang ini menjadi ciut nyalinya jika mendengar bunyi tembakan senjata api. Jadi ketika seharusnya mengambil senjata, mereka justru panik dan melarikan diri lewat gerbang belakang benteng, menghilang ke dalam hutan. Begitu tergesa-gesanya mereka sampai beberapa orang di antara mereka hampir patah lehernya ketika menuruni tangga dan pelarian mereka dipercepat ketika mendengar Yohanes mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Belanda. Ini membuat mereka menyangka bahwa mereka sedang diserang oleh orang-orang Belanda. Ketakutan ini dibenarkan oleh para pengawal benteng yang dengan yakin mengatakan bahwa mereka melihat bendera Belanda berkibar di ujung sampan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...