Sementara marilah kita mengundurkan waktu pada pagi hari menyusul peristiwa desersi itu, Kolonel telah sibuk sendiri. Lama sebelum matahari terbit ia mengunjungi Temenggung Nikodemus Jaya Nagara. Setelah membuat beberapa persiapan ia memimpin sejumlah besar orang Dayak, membagi-bagi mereka dalam beberapa sampan dan dengan ditemani oleh Temenggung ia menuju ke arah laut.
Setelah melewati satu pulau kecil di Sungai Dayak Kecil mereka menemukan satu sampan yang telah rusak berat akibat tembakan- tembakan dari benteng malam sebelumnya. Tetapi karena awak sampan itu tidak tahu soal para desertir, tidak ada informasi yang dapat diperoleh. Mereka hanya dapat menunjukkan mayat dan orang yang terluka dan menjelaskan bagaimana sampan yang membawa keranda telah lenyap dalam kegelapan di hilir sungai. Mereka sangat ketakutan dan bahkan sampai saat itu ketakutan mereka belum lenyap samasekali. Akan tetapi setelah lama berbincang, mereka yakin atas keselamatan mereka dan yang terluka dijamin akan dibawa ke benteng untuk dirawat.
Semua anak sungai dan semua sungai diperiksa, pulau-pulau kecil dijelajahi, tetapi tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan. Ketika Kolonel mendekati muara Terusan ia perintahkan sebagian orangnya menelusuri kanal dan bergabung kembali dengan dia di muara Sungai Kahayan. Jika perintah ini dilaksanakan, para buronan kiranya dapat ditangkap. Tetapi sebelum perintah itu benar- benar dilaksanakan, sampan yang membawa Temenggung, seorang sahaya yang amat dipercaya, muncul di muara Terusan dan dia mengatakan tidak menjumpai satu sampanpun. Karena itu jelas para buronan tidak menempuh jalan tersebut. Penyusuran diteruskan ke muara Sungai Dayak Kecil. Pencarian di anaksungai-anaksungai serta cabang-cabangnya memakan banyak waktu sehingga hari telah petang sebelum mereka mencapai Laut Jawa.
Kolonel kini mengamati cakrawala dan melihat dua kapal penjelajah sedang membuang jangkar. Di sebelah barat daya satu perahu sedang berlayar menentang angin, tetapi begitu melihat armada kecil Kolonel, perahu tersebut membentangkan seluruh layarnya dan mencoba melarikan diri. Ini memperkuat dugaan Kolonel bahwa para buronan berada di atas perahu itu. Bahkan Temenggung mengatakan bahwa tampaknya seperti perahu yang membawa mayat korban kolera. Mengenai siapa para pendayungnya, Temenggung tidak memperoleh gambaran apapun. Ia tahu ketakutan terhadap wabah yang mematikan ini merasuki orang-orangnya dan kenyataan ini menambah keragu-raguannya.
Kolonel memerintahkan melepaskan beberapa tembakan untuk menarik perhatian kapal-kapal penjelajah dan mengibarkan bendera-bendera kebangsaannya. Komandan masing-masing kapal tampaknya memahami apa yang diharapkan dari mereka. Mereka segera menaikkan jangkar dan berlayar menuju ke armada kecil Kolonel.
Kolonel naik ke salah satu kapal dan memerintahkan semua layar dipasang. Ia juga memerintahkan untuk melepaskan tiga tembakan peluru kosong sebagai tanda agar perahu yang dicurigai berhenti. Akan tetapi jangankan mematuhi, perahu itu malah menambah layarnya dan mengerahkan seluruh dayungnya. Ketika pertama kali diamati perahu itu hanya membawa empat pengayuh, tetapi kini dalam pelariannya tampak perahu itu dijejali orang.
Kolonel memerintahkan para penembak meriam mengisi peluru, memutuskan untuk menunjukkan bahwa ia tidak main-main. Tetapi peluru-peluru meriam tiga pon hanya memantul di air dan meledak dengan letusan-letusan keras, jarak terlalu jauh. Jumlah orang yang ada di perahu itu menimbulkan kecurigaan Temenggung juga, tetapi ia katakan bahwa tidak mungkin itu perahu yang membawa para buronan dan mereka berada pada jejak yang salah. Jika perahu itu mengambil muatan di Kuala Kapuas dengan demikian banyak pendayung, mustahil itu tidak diketahuinya selaku Temenggung.
Akhirnya Kolonel memutuskan untuk menyuruh salah satu kapal penjelajah mengejar perahu buronan itu, sedangkan yang satu lagi tetap tinggal untuk membantunya memeriksa pantai.
Selagi memberikan perintah, terdengar teriakan dari salah satu sampan di sekitar bahwa ada satu peti yang terikat. Ternyata peti itu adalah keranda korban kolera yang telah dibawa untuk dikuburkan pada malam sebelumnya. Salah seorang Dayak mengenal tubuh mayat, sedangkan yang lain mengatakan bahwa dialah yang membuat keranda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESERSI: MENEROBOS RIMBA BORNEO
Historical FictionKisah ini adalah terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang berjudul Borneo van Zuid naar Noord karya M.T. Hubert Perelaer, berkisah tentang empat serdadu KNIL Belanda yaitu Schlickeisen (Swiss), Wienersdorf (Swiss), La Cuille (Belgia) dan Yohannes...