Seperti biasa, ketypoanku ngak pernah tinggal..
Keputusan Nana untuk kembali ke kampung halaman orang tuanya seperti sudah sangat bulat dan terencana dengan sangat baik. Dua hari setelah mengungkapkan keinginannya pada Erin, Nana sudah sampai di tanah kelahiran orang tuanya itu. Tempat yang asing dan jauh dari rumah yang tidak pernah Nana bayangkan akan jadi tempat pelariannya.
Kalau boleh jujur, separuh hati Nana masih sangat berat untuk meninggalakan jakarta. Meninggalkan segala rutinitas hariannya yang memenatkan pikiran dan menguras tenaga itu. Sekarang, sudah tidak ada lagi saut-sautan klakson kendaraan dipagi hari kala ia harus berangkat ketempat kerja dan menghadapi macetnya jakarta. Tidak ada lagi omelan mama dipagi hari saat harus membangunkannya. Atau, celotehan panjang Erin soal pacarnya yang nggak pernah ada habisnya jika mereka sudah bertemu.
Dan tidak ada lagi Hanung, dengan senyum menawannya dipagi hari saat menjemput Nana untuk mengantarnya ketempat kerja. Tidak, tidak akan pernah ada lagi sosok Hanung dikehidupannya sekalipun Nana balik ke Jakarta. Tidak akan pernah ada dan tidak akan Nana izinkan. Nana sudah sangat bertekat tentang itu.
Nana menoleh, mengedarkan pandangannya untuk menikmati pemandangan dari bandara menuju kampung halaman orang tuanya. Katanya bukan di Padang, Nana tidak terlalu kenal tempat itu. Tapi kata mama, cuacanya mirip Bandung dengan suasana pedesaan yang masih kental.
"Kampung mama dimana?" Tanya Nana pada kakak laki-lakinya yang separuh tertidur di sebelahnya.
"Bukit tin-nggih?" Jawab Yogi ragu sendiri.
Yogi, kakak laki-laki Nana yang memaksa ikut karena takut adik perempuannya itu akan bunuh diri disini.
Padahal Yogi bukan tipe orang yang senang berpergian jauh. Yogi juga tidak terlalu suka tempat baru. Tapi kakak laki-lakinya itu memaksa ikut dengan alasan, ia lebih berpengalaman daripada Nana,"
"Gue pernah kesana waktu sd, minimal gue bisa antisipasi kemungkinan terburuk. Dan lo butuh penjaga, kan nggak lucu kalau ada kabar lo bunuh diri disana,"
Entah kakaknya itu benar-benar khawatir atau hanya ingin menghabiskan waktu untuk meledek nasib Nana, yang jelas dia seperti akan sangat menikmati perjalanan ini.
Iya disaat Nana merasa desperate dan menyedihkan, Yogi merasa ini seperti liburan yang akan menyenangkan buatnya.
"Iya rin, gue udah sampai. Butuh waktu cukup lama buat ke kampung nyokap gue," Nana menyampirkan tas sandangnya di sofa ruang tamu. Ia baru saja sampai, saat Erin menelpon dan bertanya ini-itu dengan sangat detail.
Nggak kaget, temannya satu itu memang sangat cerewet dalam berbagai hal.
"Lo bilang ke Padang, emang jauh banget ya dari bandara ke Padang?" Tanya Erin diujung telepon.
Nana yakin banget, temannya itu pasti sedang meringkuk di atas tempat tidur dengan laptop, sambil mencari tau berbagai hal tentang Padang supaya punya bahan untuk mendebat Nana atau membuat Nana merubah pikirannya.
"Na, Padang tuh panas banget, kalo siang hari bisa sampai 37 derajat. Kenapa sih lo nggak ke bandung aja?" Serangan pertama dari Erin di mulai.
"Gue nggak ke Padang kok, kampung nyokap gue ada di dataran tinggi, dan cuacanya mirip Bandung," jawab Nana dengan nada santainya.
"Oke? Jadi lo bukan ke Padang? Tapi masih daerah sekitaran Padang? Ini maksudnya lo nggak ke Bandung tapi malah ke Dago gitu?"
Nana memutar bolamata jengah meskipun tau Erin tidak bisa melihat ekpresi donenya saat ini, "bukan Rin, ini tuh kaya gue ke Jawa barat tapi ga ke Bandung. Nah gue ke Sumatra Barat tapi nggak ke Padang," jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanteur
Random'Mungkin belum jodoh,' kata yang terdengar sepele dan sangat mudah diucapkan itu ternyata punya beban perasaan yang sangat berat. Nana ingin kabur, memulai hidup baru dan melupakan kata 'mungkin belum jodoh,' yang berulangkali ia ucapkan hanya u...