Hallooooo
Hehheeh bosen ya pasti kalau aku minta maaf terus karena telat update.
Ngomong-ngomong, part ini kayanya nggak terlalu greget kaya biasanya.
Belum bisa mengobati kangen kalian sama cerita ini siihh kayanya.
Tapi ini bagian dari alur jadi kita nikmatin aja heheh
Kalau aku ada waktu luang, aku bakalan update secepatnya. Oke??
Aku males cek ulang jadi sepertinya ini byk typo :(
Itu mungkin sekitar 4, atau 5 tahun yang lalu saat Erin memutuskan keluar dari rumahnya. Memutuskan untuk nggak melanjutkan kuliah dan memilih jalan kariernya sendiri.
Saat itu Erin masih terlalu muda. Punya semangat besar dan angan yang besar hingga ia merasa bisa menaklukan dunia hanya dengan dirinya sendiri. Hidup bebas, tanpa terkekang dan melakukan segala hal yang nggak akan pernah bisa ia lakukan jika masih berada dirumahnya.
Tapi nyatanya, hari ini ia kembali ke sini .
Ke rumah bergaya mediterania yang menyimpan banyak memori tentang masa kecilnya. Rumah itu masih sama. Masih dengan gerbang tinggi menjulang, dab pohon-pohon palem yang berjejer di sepanjang halamanya.
Erin menarik napas panjang untuk kesekian kalinya, setengah jam sudah ia berdiam diri di dalam mobilnya hanya untuk memastikan bahwa ia benar-benar siap untuk kembali ke rumah. Bertemu dengan adiknya Iqbaal dan meminta maaf dengan Mama. Juga bertemu Papa, dan.. mempersiapkan mental untuk menerima cacian dari orang yang selama ini selalu ia tentang.
"It's okay. Mereka keluarga lo, lo nggak boleh selamanya kaya gini," ujarnya pada diri sendiri. Tangan Erin menggenggam erat stir didepannya, menarik napas panjang sebelum akhirnya benar-benar keluar dari dalam mobil.
Kaki panjang Erin melangkah pasti menuju gerbang rumah itu. Sebelah tangannya menjinjing tas, sebelah lagi membuka kacamata hitam yang semula ia pakai. Erin menekan interkom pada gerbang rumahnya.
Saat suara bel berakhir, suara pertama yang Erin dengar adalah suara laki-laki yang sudah berubah dari terakhir kali Erin dengar.
"Siapa?" Itu Iqbaal. Adik laki-laki Erin yang mungkin seumuran dengan Duta.
"Mon maap mbak, mas, teteh, akang, encang, encing siapapun anda kameranya jangan ditutup,"ujarnya lagi. Suara boleh berubah, tapi berisiknya masih sama kaya dulu.
Erin melepaskan tangannya yang semula menutupi kamera interkom, "gue tambah cantik nggak bal??" Sapanya sambil mengerling ke arah kamera.
Selanjutnya yang terdengar adalah lengkingan suara Iqbaal dan suara grasak grusuk yang bisa dipastikan berasal dari kehebohan Iqbaal di dalam sana.
"TETEEH??? ASTAGHFIRULLAH INI TEH BENERAN TETEH??" Teriak Iqbaal di dalam sana.
Interkom dimatikan, bersamaan dengan pintu gerbang yang terbuka, lalu hal pertama yang Erin lihat adalah Iqbaal yang baru saja membuka pintu rumah mereka kemudian berlari menyusuri halam rumah untuk sampai ketempat Erin.
"Beneran?? Beneran teteh Erin?" Serunya sambil berlari kencang meski tanpa alas kaki.
"Bukan, gue Yerin gfriend" balas Erin, kemudian tergelak geli sendiri. Saat Iqbaal semakin mendekat, Erin segara merentangkan tangan lalu membiarkan adik laki-lakinya itu menghambur kepelukannya.
"Ciee udah gede, pacar udah berapa?" Ledeknya. Suaranya tercekat, tapi tetap tersenyum sambil menahan tangis. Erin rindu. Dulu waktu ia tinggalakm, Iqbaal belum sebesar sekarang, juga belum setinggi sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanteur
De Todo'Mungkin belum jodoh,' kata yang terdengar sepele dan sangat mudah diucapkan itu ternyata punya beban perasaan yang sangat berat. Nana ingin kabur, memulai hidup baru dan melupakan kata 'mungkin belum jodoh,' yang berulangkali ia ucapkan hanya u...