Haiii hihihihi author yg katanya mau update tapi sampe seminggu malah hilang balik nih 😃
Kalau kamu terluka di suatu tempat, kamu akan pergi jauh, memilih untuk tidak kembali hingga akhirnya kamu lupa bahwa tempat itu pernah melukaimu.
Itu tidak bisa disebut lari dari kenyataan. Karena pada dasarnya manusia punya insting untuk menghindar dari segala sesuatu yang menyakiti mereka. Ini lebih pantas disebut healing, penyembuhan luka agar tetap terlihat baik-baik saja.
Jadi, agaknya terlalu berlebihan kalau kepergian Nana ke Bukittinggi dan menjalin hubungan dengan Juan dengan tujuan untuk menyembuhkan lukanya itu disebut sebagai pelarian. Kata ini bukan dari orang-orang di lingkungan Nana. Tapi dari Nana sendiri yang terbangun pagi ini untuk menatap dirinya didepan kaca hanya untuk memastikan bahwa,
"Nggak, gue suka Juan bukan karena gue butuh pelarian,"
Iya, untuk memastikan bahwa ia benar-benar menyukai Juan, dan tidak memanfaatkan Juan sebagai alat untuk move on dari Hanung.
Pagi itu, setelah bergumul dengan dirinya sendiri didepan kaca, Nana memilih untuk mandi air hangat. Berpakaian, lalu membuat sarapan untuk dirinya sendiri karena Yogi tidak lagi ada di Bukittinggi.
Nana baru saja selesai menuang susu ke dalam gelasnya saat telepon seluler yang tergeletak diatas meja berdering, menampilkan nama Mama pada layarnya.
Belum apa-apa, Nana sudah frustasi duluan.
"Iya ma?"sahutnya setengah hati.
Kalau urusannya Mama pasti akan selalu nyeleneh deh.
"Na, ini gue," suara berbeda terdengar diseberang sana.
Nana mengerutkan kening, sepagi ini berbagai hal random sudah memenuhi kepalanya.
"Erin??" Serunya kebingungan.
"Iya Na, gue lagi di Bandung. Dirumah Mama," jawab Erin. Gadis itu tentu saja tidak seceria biasanya setiap kali ia menelepon Nana.
Nada suranya rendah dan lesu, terdengar memprihatikan di telinga Nana.
"Oke.. dan handphone lo kemana by the way?" Nana meneguk Susunya, menunggu jawaban dari Erin.
"Gue buang ke Ciliwung. Biar Vikri nggak bisa ngehubungin gue lagi,"
Untung saja susu yang Nana minum sudah melewati tenggorokannya. Erin dan dramatisasinya.. bener-bener deh.
"Kenapa siih? Lo berantem sama Vikri?" Tanya Nana, ia berjalan ke arah sofa besar di depan televisi, mempersiapakan diri untuk mendengar cerita Erin yang Nana yakini akan sangat panjang.
"Gue putus sama Vikri," ujar Erin membuka ceritanya.
Nana tidak terkejut. Bertahun-tahun Erin dan Vikri menjalin hubungan, Nana tidak melihat titik temu dihubungan keduanya. Erin dan prinsipnya, Vikri dan tetek bengek keluarganya. Keduanya tidak pernah berkesinambungan buat Nana.
"Jadi gimana?" Tanya Nana mengambang.
"Apanya?" Balas Erin tak mengerti.
"Perasaan lo setelah putus sama Vikri gimana? 8 tahun rin, itu waktu yang lama buat bikin kenangan dan ngelupain semuanya sekarang,"
Pada titik ini, Nana tidak tahu mana yang lebih sakit diantara mereka berdua. Nana yang ditinggal disaat-saat paling puncak sebuah hubungan, atau Erin yang akhirnya mengalah pada takdir setelah 8 tahun tidak tentu arah.
"Nggak tahu Na, kemarin setelah mutusin Vikri di kantornya gue pergi ke cafe Johny cuma buat nenangin diri dan pura-pura bahagia disana. Gue ketemu teman-teman, chit chat, terus pulang ke appartement cuma buat nemuin diri gue hancur sehancur-hancurnya. Gue nangis semaleman, kacau, nggak tahu harus gimana buat ngilangin sakit yang gue rasain. Malam itu juga gue mutusin buat ke Bandung, ke rumah Elo. Karena gue nggak tau gue bisa kemana lagi disaat-saat kaya gini,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanteur
Aléatoire'Mungkin belum jodoh,' kata yang terdengar sepele dan sangat mudah diucapkan itu ternyata punya beban perasaan yang sangat berat. Nana ingin kabur, memulai hidup baru dan melupakan kata 'mungkin belum jodoh,' yang berulangkali ia ucapkan hanya u...