Haiiii balik lagi 😁😁Sebenarnya, ini part paling membingungkan buat aku tulis. Tapi semoga saja ini nggak membingungkan buat kalian baca..
Maaf ya kalah typo, aku males ngechek ulang hhuhu
Hujan lebat malam itu menemani Nana di tengah-tengah appartement yang hanya diisi olehnya. Ia baru saja pulang setelah seharian menemani Erin berbelanja. Mandi, berganti baju lalu menyeduh secangkir teh melati untuk dirinya sendiri.
Ia sedang menuang air yang baru saja dipanaskan kedalam cangkir berisi teh celup saat mama menelepon. Ponsel Nana berbunyi tepat di sebelah cangkir tehnya, tapi ia membiarkannya begitu saja hingga bunyi itu hilang. Kemudian memilih menonaktifkan ponselnya itu.
Hari ini, Nana butuh waktu untuk dirinya sendiri.
Ia menyibak tirai panjang yang menutupi dinding kaca dibagian kanan ruang televisi. Dinding yang langsung mengarah keperkotaan hingga dari appartementnya Nana bisa melihat kerlap-kerlip lampu perkotaan malam itu. Menyatu dengan biasan bulir-bulir air hujan pada dinding kaca.
Gadis itu menghela napas dalam, matanya khidmat memandangi pemandangan dibawah sana. Lampu-lampu yang cuma tampak sebesar buah cherry berkelap-kelip dengan warna-warninya seolah enggan mengalah dengan hujan lebat di luar sana.
Nana memutar sofa tunggal bewarna putih gading agar menghadap pada dinding kaca. Ia duduk bersila, sambil menggengam secangkir teh memandangi pemandangan malam itu yang membuatnya larut kedalam pikirannya sendiri.
Pertama-tama, apa yang harus Nana bahas soal dirinya?
Tentang rencana pernikahannya dengan Hanung yang tidak ada kepastian, atau tentang Juan yang sampai saat ini tidak pernah mencoba untuk menghubunginya?
Nana jadi ingat seusatu. Tadi saat ia menghabiskan harinya dengan Erin, gadis itu terus saja mengoceh seakan tidak ada yang berubah dalam dirinya. Padahal Nana tahu betul bagaimana Erin mencintai Vikri selama 8 tahun ini, dan perpisahan tentu bukan hal yang mudah bagi Erin. Juha bagi keduanya.
Tapi Erin seolah menolak untuk menunjukkan patah hatinya pada dunia. Gadis itu selalu punya pelarian dan tahu bagaimana membuat dirinya bahagia dalam kondisi paling sulit sekalipun. Ia tau apa yang ia butuhkan dan apa yang harusnya tidak ia pikirkan.
Dan Nana iri soal itu.
Nana masih begini-begini saja. Terbiasa membiarkan dirinya larut dalam emosional dan luka hingga ia lupa pada hal-hal kecil yang mungkin akan membuatnya bahagia. Nana selalu begini, menangis dan menikmati rasa sakit sendirian sambil berharap akan ada orang yang menariknya keluar dari fase ini.
Padahal Nana harusnya sudah membuat keputusan sejak awal. Entah itu Hanung atau itu Juan. Nana harus memutuskan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan kedua orang itu. Lalu, harusnya Nana sudah memutuskan hal-hal apa saja yang harus ia lakukan agar ia bisa bahagia?
Bukan hanya diam, menangis, lalu terlihat seperti orang bodoh yang kehilangan harapan.
"See, gue cuma anak kecil mama yang dibiarkan bebas begitu saja, tersesat dan disakiti berkali-kali oleh kehidupan," racaunya pada diri sendiri. Ia memandang dramatis pantulan dirinya yang blur pada dinding kaca.
Na, jangan mulai deh. Ntar lo stress beneran.
Sebuah bunga daisy kuning yang terpajang di pantry menyita perhatian Nana saat ia menoleh kearah depan. Bunga itu mengingatkan Nana pada bunga mataharinya di Bukittinggi. Dan Bukittinggi selalu mengingatkan Nana pada Juan. Lucu kan? Nana bahkan nggak bisa mengalihkan pikirannya terhadap laki-laki itu meskipun cuma untuk 1 hari. Nggak pernah bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanteur
Random'Mungkin belum jodoh,' kata yang terdengar sepele dan sangat mudah diucapkan itu ternyata punya beban perasaan yang sangat berat. Nana ingin kabur, memulai hidup baru dan melupakan kata 'mungkin belum jodoh,' yang berulangkali ia ucapkan hanya u...