[II] Bloody Sacred Vase : Ch. 11

763 142 20
                                    

"Bukankah Eileen dan Khun akhir-akhir ini terlihat aneh?" ucap Boro membuka percakapan. Saat ini ia, Sachi dan Bam tengah duduk di cafeteria ujian lantai 55.  Sekitar setengah jam lagi mereka akan melaksanakan ujian.

"Bukankah mereka hanya terlihat sedikit lebih tenang dari biasanya," balas Sachi santai.

"Apa kau tidak sadar? Mereka seperti sedang bermusuhan." ujar Boro meyakinkan. Pasalnya, dirinya kerap kali menyaksikan Eileen dan Khun saling bersikap dingin. Mereka berdua bersikap seolah tidak saling kenal.

"Kau saja yang terlalu berlebihan, Boro"

"Tidak. Memang ada sesuatu di antara mereka," sahut Bam ikut berpendapat. "Aku sebenarnya juga menyadarinya. Tapi saat kutanya pada Nona Eileen, dia selalu mengelak dan mengatakan kalau mereka baik-baik saja."

Sebenarnya bisa saja Bam bertanya pada Khun. Tapi ia tak enak hati jika terlalu ikut campur dalam urusan mereka. Ia merasa kalau memang membutuhkan bantuan, Khun pasti akan berbicara padanya. Walaupun ia kurang yakin lantaran Khun itu tipe orang yang suka menanggung semua masalahnya sendiri. Sebagai seorang sahabat, Bam bingung apa yang harus ia lakukan.

"Itu namanya pertengkaran antar kekasih. Mereka mengelak karena itu masalah pribadi mereka," celetuk Endorsi tiba-tiba lalu duduk di sebuah kursi kosong disana. Di tangannya ia membawa segelas milkshake rasa mangga dan menyeruputnya dengan penuh suka cita.

"N-nona Endorsi?"

"Mereka sepasang kekasih? Kapan mereka jadian?" Boro tercengang tak percaya.

"Kalian itu terlalu tak peka. Pantas saja kalian tak punya kekasih. Kalian tak punya bakat dalam urusan percintaan," Endorsi mengibaskan rambut pendeknya dengan bangga.

"Uh-huh," Boro menggertakkan giginya kesal. Sedangkan Bam hanya bisa tertawa kecil melihatnya.

"Lalu menurutmu apa yang terjadi di antara mereka?" tanya Sachi.

Endorsi meletakkan gelas minumannya ke atas meja lalu bersedekap, "Orang ketiga."

"O-orang ketiga?" ucap Boro, Sachi dan Bam serentak.

Bam lalu terkekeh, "Nona Endorsi, kalau Nona Eileen dan Tuan Khun mendengarnya, mereka pasti akan marah padamu."

"Huh, siapa mereka berani marah pada seorang Putri," ucap gadis itu membuang muka. "Eh, itu...Wah sepertinya kita akan mendapatkan lawan yang kuat. Tapi aku lebih menantikan tontonan menarik lainnya."

"Putri Maria!" Boro teriak histeris membuat Sachi sontak menutup kedua telinganya. "Lihat betapa cantiknya dia. Rambutnya saja begitu berkilau bagaikan berlian. Senyumnya sangat manis~"

"Kau mulai lagi," Sachi terheran-heran dengan sikap Boro tiap kali melihat gadis cantik.

"Aku ingin minta tanda tangan tapi bagaimana caranya," Boro menjatuhkan kepalanya ke atas meja, "Khun! Aku akan minta bantuannya. Mereka kan saling kenal."

"Kau akan dibunuhnya."

"Nona Endorsi, apa kau tak apa? Dia juga seorang Putri seperti mu." Bam terlihat sedikit cemas. Biasanya saat Putri Zahard bersama, akan ada saja masalah-masalah yang terjadi. Seperti saat bertemu Putri Kembar Shilial dan Lilial.

"Memangnya kenapa? Biarpun dia itu saudaraku. Ia tak lebih hebat dari ku." ucap Endorsi cuek walau dalam hati sebenarnya ia sedikit cemas.

***

"Khun! Apa yang kau lakukan?" Eileen mengejar Khun yang berjalan didepannya. "Kau nyaris saja gagal kalau aku tak datang tepat waktu."

"Maaf," ucap lelaki itu tak bertenaga. Ia terlihat begitu murung. Bahkan ia tak mau repot-repot mempedulikan Eileen.

"Ini karena gadis itu kan. Maria. Dia ingin membunuhmu!" Eileen menarik lengan Khun agar lelaki itu berhenti berjalan.

"Jangan bicara sembarangan!" bentak Khun membuat Eileen terdiam. Ia melepaskan tangan Eileen dari lengannya dengan kasar. Gadis itu tak menyangka Khun akan semarah ini. "Yang menyerangku itu rekan setimnya. Bukan dia. Itu wajar karna kita sedang ditengah ujian."

"Kalau dia memang peduli padamu, harusnya dia memperingati rekannya untuk tidak menyerangmu," sanggah Eileen.

"Ini tak ada hubungannya dengan mu. Urus saja urusanmu sendiri."

"Kalau memang ini bukan urusanku, harusnya kau tidak merepotkan ku," balas Eileen sengit. "Kau sengaja tidak menargetkan tim Maria. Kau juga sengaja menempatkan ku jauh dari tim mereka. Akhirnya kau hampir terbunuh karena rekan setimnya. Lalu kalau kau mati dan kita gagal, apa yang harus aku katakan pada Bam dan yang lain!?"

"Kau...berisik." Khun membuang muka.

Eileen bersedekap, "Aku masih bersyukur yang lain tak ikut terlibat. Tapi kalau lain kali ada yang sampai terluka karena ketidaktegasanmu, aku tidak akan memaafkan mu. Apa perlu harus ada yang terluka dulu baru kau akan mendengarkan ku? Aku mengatakan ini karena aku peduli padamu. Kau berubah sejak bertemu Maria. Tim ini tak butuh pemimpin yang tidak tegas dan mudah goyah hanya karena seorang wanita. Lebih baik si Buaya yang memimpin."

Eileen lalu meninggalkan Khun yang masih terdiam mencerna ucapan Eileen. Sepertinya kali ini ia sedikit berlebihan. Dan memang, sejak bertemu Maria dirinya jadi tidak fokus. Mereka juga menjalani ujian bersama. Entah ini kebetulan atau apa, Khun tak percaya akan bertemu gadis itu dalam keadaan seperti.

Sebelumnya Khun tak pernah memikirkan Maria. Gadis itu juga beberapa waktu yang lalu berada di lantai yang jauh lebih tinggi dari mereka. Siapa yang sangka mereka berada di lantai ujian yang sama. Ia merasa tidak siap jika harus bertemu dengan gadis itu.

"Aguero."

Khun menoleh mendengar suara yang terasa familiar memanggil namanya. Di belakangnya, Maria tengah tersenyum sambil melambaikan tangannya. Gadis itu berjalan mendekat ke arah Khun. Perasaan ini begitu terasa sangat ia rindukan.

"Bagaimana kabarmu? Pertama kali mendengar kabar kalau kau menjadi seorang reguler, aku sedikit terkejut. Tapi aku tau kau itu sangat berbakat dan layak untuk menaiki menara."

"Maria." Khun lantas tertunduk. Ia tak tahu bagaimana menghadapi gadis itu. Bahkan untuk menatap matanya saja Khun tak sanggup. Ia merasa dirinya tak pantas.

"Aku baik-baik saja." ucap Khun pada akhirnya.

"Maaf, karena diriku, kau pasti menjalani hidup yang sulit. Aku dengar kau di usir dari keluarga utama." Maria mengambil tangan Khun dan menggenggamnya lembut. "Sepertinya aku ini memang selalu merepotkanmu."

"T-tidak. Aku sendiri yang memilih jalan ini," ucap Khun. Dari awal kehadirannya memang tak berarti apa-apa dalam keluarganya. Ia hanya seorang anak lemah yang suka memberontak.

Mereka kembali sedikit berbincang setelah sekian lama tidak berjumpa. Sedangkan dibalik tembok di dekat sana, seseorang tengah memperhatikan keduanya. Eileen memijat pelipisnya yang terasa penat. Kalau begini terus, bisa-bisa Khun akan mengacaukan rencananya.

Eileen memutuskan meninggalkan tempat itu. Ia harus memikirkan cara lain. Ia rasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun baru beberapa langkah, ia berhenti. "Endorsi?"

Gadis itu berdiri di hadapan Eileen seolah-olah sedang menghadangnya. Dibibirnya, terukir senyuman tipis penuh kesan misterius, "Kau terlihat begitu cemas, Eileen."

-TO BE CONTINUED-

15 June 2019

By Chaerun Nessa

[Tower of God Fanfic] : Tower FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang