[II] Bloody Sacred Vase : Ch. 17

648 118 14
                                    

"Putri, kenapa kau berjalan cepat sekali?" Lumina mengekor di belakang Eileen mencoba mengikuti langkah gadis itu. "Bukannya rencana kita masih beberapa jam lagi, Putri?"

"Tolong berhenti memanggilku 'Putri'. Orang-orang bisa salah sangka mengira aku ini seorang Putri Zahard." ucap Eileen kesal.

Lumina terus memanggil Eileen dengan sebutan 'Putri' padahal Eileen sudah sering melarangnya memanggil seperti itu terutama di tempat umum. Bahkan saat ujian beberapa hari yang lalu mereka berdua begitu menarik perhatian para peserta yang lain karena ulah Lumina.

"Padahal kau memang seorang Putri," ucap Lumina dengan volume kecil namun masih bisa terdengar oleh Eileen, "Ah maaf, maksudku..."

"Panggil saja aku Eileen."

Lumina terlihat enggan. Gadis itu terlalu bersemangat bisa menaiki menara bersama Eileen, sehingga ia menjadi sedikit ceroboh. Selama ini ia selalu menganggap Eileen sebagai sosok yang sangat ia hormati. Lumina merasa tidak bisa bersikap sembarangan walau hanya dengan memanggil nama Eileen. Itu terlalu tidak sopan baginya.

"K-kalau begitu, boleh aku memanggilmu 'Nona Eileen'?"

"Baiklah-baiklah, itu sedikit lebih baik dari pada dipanggil Putri."

Keduanya lalu terus berjalan menyusuri lorong panjang yang minim pencahayaan. Rembesan air mengalir perlahan dari dinding batu bangunan tempat mereka berada sekarang. Deretan pintu berukuran besar berjejer di lorong tersebut, memberi kesan seperti sedang berjalan di koridor hotel namun dengan nuansa kuno.

"Nona, ada yang datang."

Perkataan yang keluar dari mulut Lumina itu membuat Eileen menghentikan langkahnya sejenak. "Cepat juga datangnya. Apa masih berjalan sesuai rencana?"

"Iya. Penglihatan ku masih seperti sebelumnya. Kita hanya perlu menunggu tamu lainnya. Dan sepertinya sebentar lagi juga akan sampai."

"Kalau begitu kita harus segera ke posisi kita. Jika ada sesuatu yang aneh, segera beritahu aku," pinta Eileen.

"Baik, Nona," Lumina menurut, "Tapi, apa kau baik-baik saja?"

"Kenapa?" tanya Eileen bingung.

Lumina hanya memandang ke arah punggung Eileen dengan pandangan sedikit khawatir. Hanya selang beberapa detik, Eileen mengerti maksud gadis itu.

"Ah, ini tak apa. Tak usah khawatir begitu," balas Eileen santai mengusap belakang pundaknya. Namun Lumina masih tak bisa menghilangkan rasa cemasnya. Benda itu terlihat sedikit mencurigakan. Ia tak tahu apa benda itu benar-benar aman untuk digunakan.

***

Khun mengambil selembar handuk dari dalam lighthouse lalu mengeringkan rambutnya. Tubuhnya yang bertelanjang dada basah kuyup memperlihatkan otot perutnya yang terbentuk sempurna. Menyelam dari permukaan ke dasar laut selama hampir 20 menit sangat menguras tenaganya.

Bagitu pula dengan rekannya. Mereka semua saat ini tengah beristirahat sejenak. Endorsi telah mengganti pakaian renangnya, sama hal nya dengan Hwaryun. Sedangkan yang lain masih ingin melepas lelah.

Khun lalu mengenakan kemeja hitam miliknya dengan bawahan celana panjang berwarna putih. Tak lupa ia melilitkan syal biru di leher lantaran suhu bawah laut yang cukup dingin. Rambutnya ia biarkan terurai agar menjaganya tetap hangat. Setelah semua anggota selesai berganti pakaian, mereka segera mulai menyusuri bangunan bawah laut itu atau yang lebih di kenal dengan sebutan Atlandark.

Atlandark merupakan tempat yang cukup terkenal di lantai 57 namun sangat jarang didatangi. Hal itu karena akses menuju tempat tersebut yang sangatlah sulit. Tim Khun saja perlu mencari ikan Dulp untuk membantu mereka menyelam kesana. Atlandark sebenarnya bisa diakses menggunakan kapal selam. Namun kapal selam bukanlah transportasi yang bisa didapatkan sembarangan. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai pengaruh kuat sajalah yang bisa menggunakannya.

Hwaryun bilang lebih baik mereka menyelam dari pada menggunakan transportasi lain. Apabila menggunakan kapal selam, kehadiran mereka menjadi terlalu mudah untuk dideteksi musuh. Karena mereka tak tau pasti siapa yang akan mereka lawan, jadi lebih baik mereka bergerak dengan tenang dari pada membuat keributan. Yah walaupun Rak sempat mengomel lantaran ia tak bisa berenang dengan tubuhnya yang kecil itu.

Sebagai seorang pemandu, Hwaryun lah yang bertugas memimpin jalan. Mereka tak perlu takut memilih jalan yang salah walau pun terkadang jalan yang ditunjukkan oleh Hwaryun selalu aneh dan terkadang membahayakan. Namun mereka memilih mempercayai gadis itu dan mengikutinya.

Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Semuanya tampak begitu fokus. Bahkan Rak sekalipun hanya diam berjalan di sebelah Bam. Mereka terus melangkah lalu menuruni anak tangga semakin mengarah ke dasar. Hingga akhirnya mereka sampai di ruangan bawah tanah bangunan tersebut yang cukup luas memanjang membentuk jalanan ke suatu tempat.

Ruangan tersebut merupakan bagian paling dasar dari Atlandark. Tidak seperti bangunan utama yang dibangun oleh tangan manusia, tempat itu seperti terbentuk dengan alami. Dindingnya terbuat dari tanah dan bebatuan yang bentuknya tak rapi. Disekeliling dindingnya yang dekat dengan langit-langit terdapat banyak lubang-lubang besar yang berfungsi sebagai ventilasi. Kurang lebih tepat ini seperti gua di bawah laut. Mereka menyusuri jalan tersebut yang sepertinya membawa mereka ke tempat yang jauh lebih luas.

"Di depan ada musuh. Sepertinya mereka belum menyadari kehadiran kita. Itemnya sepertinya ada di sana," Hwaryun memperingati.

Khun lalu mengaktifkan Lighthouse-nya, "Baiklah. Dekati perlahan, dan kita kepung mereka."

Kedelapan orang itu segera bergerak menyebar begitu memasuki ruangan yang sangat luas itu. Dari lighthouse, Khun bisa melihat ada sebuah peti usang berukuran besar yang tergeletak di sudut ruangan. Disekelilingnya, ada tiga orang yang terlihat tengah mengotak-atik peti itu. Dan salah satu dari mereka adalah Maria.

"Mar-"

"Lilial! Shilial!"

Endorsi mengarahkan serangannya ke arah orang-orang tersebut membuat suasana menjadi gaduh seketika. Rencana mereka untuk mengepung musuh diam-diam kini telah gagal total karena ulah gadis itu. Namun yang lebih mengejutkan mereka adalah keberadaan tiga Putri Zahard di tempat itu. Maria, Shilial dan Lilial, ketiganya sepertinya memang tengah mengincar bunga menara.

"Kebetulan sekali kita bertemu di tempat ini. Bisa kah kalian memberikan aku pecahan wadah bunga menara satunya? Peti ini sepertinya butuh benda itu untuk membukanya," ucap Maria begitu berhasil menghindari serangan Endorsi.

'Eh, mereka belum bisa membukanya?' Khun bertanya dalam hati. Kalau memang membuka peti itu membutuhkan pecahan itu, mereka tak akan bisa melakukannya karena pecahan satunya ada pada Eileen.

"Endorsi! Apa kau gila? Kenapa kau tiba-tiba menyerangku?" maki Lili penuh emosi.

Endorsi hanya tersenyum puas mendengarnya, "Apa melakukannya butuh alasan? Aku hanya ingin. Anggap saja itu pembalasan atas apa yang terjadi di Stasiun Name Hunt kemarin." Lili menggertakan giginya menahan amarah.

"Maaf mengecewakan kalian. Tapi pecahan satunya juga tidak ada ditangan kami. Karena kalian memiliki pecahan lainnya, kami akan merebutnya sekarang," Khun mengangkat tangannya mengisyaratkan rekannya untuk mulai menyerang.

Pertarungan mulai terjadi di tempat itu. Kelompok Maria yang hanya terdiri dari tiga orang merasa kesulitan menghadapi Tim Khun sekaligus yang jumlahnya lebih banyak. Mereka memilih menghindari serangan demi serangan dari pada menerima resiko dikalahkan. Pasalnya Tim Khun bukan tim sembarangan seperti Reguler lainnya.

DUARR!!!

Tiba-tiba ditengah pertarungan, terjadi sebuah ledakan yang cukup besar menyerang mereka. Kedua pihak dengan cepat menghindari dan menghentikan serangan mereka sejenak. Ledakan itu berhasil memisahkan mereka untuk sesaat dan membuat mereka penasaran lantaran bukan Tim Khun maupun Tim Maria yang menyebabkannya.

"Cepat juga kalian memulai pestanya," terdengar suara perempuan menggema diruangan tersebut, "Tapi berani sekali kalian bersenang-senang tanpa aku."

-TO BE CONTINUED-

_______________________

17 Agustus 2018

By Chaerun Nessa

[Tower of God Fanfic] : Tower FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang